12: Andai

35 7 12
                                    

Ada yang aneh dari sekolahku hari ini. Ketika baru menapak undakan depan, aku bahkan merasa disambut oleh situasi tak nyaman. Beberapa pasang mata seakan menelanjangiku di tiap langkah menuju kelas.

Seringnya, berbagai umpatan dan kata-kata kasar mereka ucapkan. Samar. Bahkan beberapa delikan dan tatapan aneh anak-anak tak sengaja tertangkap ketika dengan gugup kutilik situasi itu.

Langkah makin kupercepat. Satu, dua, tetapi kaki enggan untuk berlari meski pening dan mual telah jauh menguasai semenjak tiba. Kurasa, seragam bagian punggung telah basah dan dingin. Sudah pastilah muncul bulir-bulir keringat sementara tangan yang bergetar tak hentinya kuremat.

Akibat revisian cerpen semalam, aku tak bisa mengakali waktu untuk datang lebih unggul. Aku ... nyaris melupakan kapan jam seharusnya bekerja.

Beruntungnya, aku hanya menemui empat orang murid yang mengisi kelas. Satu Ari, yang entah mengapa raut wajahnya tampak resah dan kutangkap sebagai sinyal tak menyenangkan.

Satu lainnya Wisnu, yang dengan kebiasaannya di pagi hari—yang kuamati akhir-akhir ini—memutar lagu dari sebuah pemutar lama berwarna abu-abu. Tampak tak acuh pada sekitar dengan memandang ke luar jendela. Sesekali bibirnya terbuka. Terdengar senandung samar.

Sementara dua orang lain yang tak begitu akrab kukenal, tampak sibuk bergumul bersama catatan dengan keduanya yang frustrasi menghadapi soal-soal yang kudengar tertinggal semalam. Sempat dua orang itu melirik. Hanya beberapa detik untuk setelahnya berpaling.

Selama beberapa menit, kugunakan waktu demi mengatur napas yang terasa mencekik. Ari memberiku penawaran khawatir. Namun, kukatakan semuanya baik-baik saja. Hanya, ketika raut anak itu terasa menuntut, barulah aku mengerti bahwa keanehan pagi ini juga terjadi padanya. Gadis itu sama sekali enggan berpaling begitu mata kami bertemu tatap.

"Ini. Anak-anak heboh Karena foto ini."

Ponsel dengan case bening berstiker kelinci cokelat milik Ari, ia tunjukkan padaku. Tepat di depan wajah. Ketika dengan jelas aku meneliti suasana familier di foto itu, napasku seakan kembali tercekik.

Ah, tidak tidak tidak! Pikiranku langsung memutar pada suatu momen yang sudah-sudah. Momen yang ingin sekali kuhapus, atau bahkan kejadian itu kudoakan tak pernah ada sama sekali dalam daftar ketidakberuntunganku yang ke sekian kali.

"Nila, ini apa? Kamu enggak anu, kan?!"

Ari mendelik, sedikit menyentak hingga kursinya mundur dan menimbulkan derit. Kupikirkan bahwa karenanya, kami akan mendapat perhatian lebih di kelas. Jangan! Jangan memandang seperti itu!

"Gimana bisa?! Heboh ini, lho! Apa jangan-jangan kalian selama ini ternyata diem-diem—"

Gadis itu secara cepat menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Mata yang lebih mendelik.

Tak banyak kata-kata setelahnya. Namun, aku yakin bahwa pikiran gadis itu akan menerka sesuatu yang tak mungkin kulakukan. Atau sesuatu lain yang mungkin membuat pikirannya bermuara pada satu kesimpulan aneh yang pasti sudah banyak diterka siapa pun hanya dengan melihat foto itu.

Bukan bukan! Bukan begitu! Mana mungkin?! Tidak akan! Aku sungguh tak akan pernah mau!

"Ya ampun, Nila. Kalau beneran ... gimana kalau fans sintingnya ngamuk?"

Mereka sudah melakukannya. Mungkin momen ini akan menjadi timbal balik bagiku. Timbal balik yang lebih buruk, tentu saja.

Jangan! Kumohon jangan! Sudah cukup dengan kekakuan dan kebingunganku menghadapi orang-orang hingga berusaha menghilangkan diri di banyak kesempatan.  Tidak juga dengan yang satu ini.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang