11: Gantungan Kunci

37 8 20
                                    

Pagi hari ketika kunilai terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah seseorang, tiga kali ketukan di pintu depan akhirnya mau tak mau memalingkanku dari depan laptop setelah beberapa saat sebelumnya berkutat dengan revisian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi hari ketika kunilai terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah seseorang, tiga kali ketukan di pintu depan akhirnya mau tak mau memalingkanku dari depan laptop setelah beberapa saat sebelumnya berkutat dengan revisian.

Pukul setengah lima. Bahkan pendar jingga kemerahan di ufuk timur masihlah mengintip malu-malu. Siapa orang aneh yang mengetuk rumah orang sepagi ini?

Ketika perlahan pintu kubuka, seseorang yang berdiri memunggungiku kemudian berbalik, secara cepat sedikit membungkuk dengan tangannya sibuk membetuli kacamata. Menorehkan senyum yang tampak tipis di bawah cahaya lampu teras.

Jelas karena hal itu, tubuhku tak mampu untuk bergerak. Terlalu terkejut. Kulirik keadaan dalam rumah. Waswas apabila Ibu tiba-tiba bangun dari lelapnya, lalu mengetahui bahwa anak gadisnya mendapat kunjungan di pagi buta oleh seorang pemuda yang sama sekali tidak pernah berkunjung sebelumnya.

Aku yakin, Ibu akan lebih banyak memberiku label merah. Atau barangkali Rika akan tiba-tiba bangun dan melempariku senyum lebar menyebalkan. Menanyai dengan curiga akan ketaatanku pada peraturan Ibu mengenai hubungan dengan lawan jenis.

"Eh, Nila."

Lagi, Wisnu tertunduk memandang dengan senyum teramat tipis. Bahkan mungkin aku mengira dia sama sekali tak tersenyun andai lampu teras tak menyoroti wajah anak itu.

Aku benar-benar mematung. Bingung bahkan ketika seharusnya menyilakan untuk duduk di kursi depan.

Ah, bukan bukan! Dia seharusnya tak di sini. Wisnu tak boleh berkunjung. Wisnu atau Dika. Tidak mereka berdua. Tidak siapa pun kecuali teman gadis. Itu pun Ibu harus benar-benar memastikan perangainya.

"Nila?!"

Ketakutanku akhirnya berwujud nyata. Sebelum Ibu benar-benar keluar untuk memeriksa keberadaanku, segera kusahuti panggilan beliau, sebelum akhirnya mendorong tergesa bahu Wisnu agar menjauhi rumah, menuju pagar bambu bercat putih di depan. Masih ada waktu sebelum aku kembali masuk.

Meski awalnya terkejut dan penasaran setengah mati mengapa Wisnu mengetahui alamat rumah, tak lantas kutuntas rasa menggebu itu demi mempersingkat waktu.

Tak ayal, raut wajah Si Anak Berkaca Mata tampak kebingungan. Sempat kulihat bibir tipisnya nyaris terbuka sebelum terkatup setelahnya. Atas gestur itu, aku yakin dia tak akan bertanya apa pun. Dia sempat melongo ke balik punggungku.

"Ah, ya, Nila. Terima kasih udah kembaliian ini."

Dia tunjukkan benda kotak abu-abu seukuran telapak tangannya.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang