Aku cukup yakin dengan dugaanku sendiri saat berkunjung ke rumah Paman. Mataku tak mungkin salah melihat. Hanya, ketika ingin memastikan dengan benar, aku tahu mata yang sekilas menatapku itu terburu menghilang dari intipannya pada celah pintu.
Kuberitahu Bibi Rani soal apa yang Ibu ceritakan sejam lalu sebelum akhirnya aku pamit untuk melanjutkan belajar sebab Ibu, dengan perubahan anehnya, menolak ketika aku menyingkir demi menghangatkan lauk untuk makan malam beliau.
"Begitu, ya?"
Suara Bibi Rani terdengar khawatir. Aku tidak mengerti apa yang Dika pikirkan waktu anak itu meninggalkan rumah dengan kecemasan ibunya.
Padahal, jika mau, aku ingin ia bercerita padaku, memberi tahu masalah yang dialaminya dengan Bibi Rani. Namun, ketika berpikir kembali soal kata-kata yang sering kuucapkan pada Dika, tentang larangan mengirimi pesan-pesan tak penting, segala bayanganku menguap begitu saja.
Akan tetapi, untuk kali ini situasinya berbeda. Apa Dika memang menganggap masalahnya tak penting? Atau dia sudah telanjur enggan menghubungiku lagi?
Padahal biasanya, berapa kali pun aku mengingatkannya tentang itu, Dika selalu bebal. Seharusnya, dengan kebiasaan itu, ia akan secara terbuka memberi tahu apa yang terjadi antaranya dan Bibi Rani.
Tidak, Nila. Ini bukan kesalahanmu. Bagaimana kalau ternyata memang masalah yang terjadi pada anak itu tak bisa diumbar ke siapa pun, termasuk kau sebagai sahabatnya?
"Bibi Rani tahu, Dika jenguk siapa?"
Aku ingin menahan untuk tak bertanya, andai saja bukan karena terpaksa sebab ini mungkin menyangkut alasan utama mengapa Dika tak pulang ke rumah.
"Apa ada yang dirawat di sana, Bi? Atau mungkin teman Dika?"
Tak segera ada jawaban. Hanya terdengar suara napas Bibi Rani di seberang panggilan.
"Nila beneran masih belum ketemu Dika juga, ya?"
Belum, tetapi itu hampir, Bi. Aku akan memastikannya nanti.
Jelas terasa ganjil, walau mungkin hanya prrasaanku yang beranggapan begitu. Namun, dari bicaranya, Bibi Rani seolah ingin menghindari pertanyaanku.
"Bibi?"
"I–iya, Nila?"
"Bibi enggak apa-apa?"
Hening. Aku pun bingung ingin menyampaikan apa lagi.
"E–enggak. Bibi enggak kenapa-kenapa."
Apa ada sesuatu yang berusaha Bibi hindari dalam pembahasan ini? Mengapa nada bicaranya terdengar ragu dan bergetar?
"Bibi sebenernya tahu, kan, kalau Ibunya Nila itu Hana?"
Hening kembali, lalu terdengar Bibi bergumam. Mengiyakan.
Sudah kuduga.
Aku melirik buku. Menggaris bawahi kalimat penting menggunakan spidol. Panggilan masih tersambung, tetapi Bibi Rani tak berbicara apa pun lagi.
"Maaf kalau sebelumnya Nila terkesan lancang."
Aku menelan ludah dengan berat. Merasa tak patut untuk mengatakannya, tetapi dorongan penasaran membuatku harus melakukannya.
"Beneran enggak ada saudara Bibi atau temen Dika yang sakit, kan?"
Jika tak ingin menduga-duga sesuatu yang buruk, mestinya aku bisa berpikir bahwa mungkin Dika hanya melintas di halaman depan rumah sakit itu. Barang kali melihat-lihat atau apa, atau memang dia ada perlu di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...