45: Maaf Soal Itu

8 6 0
                                    

"Paman udah balik."

Jelas kalimat itu ditujukan padaku sebab tak ada yang tersisa di kelas setelah bel istirahat kecuali aku dan Wisnu. Sepuluh menit yang lalu, Ari sempat pamit pergi ke kantin.

Aku berbalik untuk memastikan lagi kata-katanya.

"Sejak kapan?"

Entah apa yang aneh, anak itu tersenyum. Menunduk sambil menekan-nekan tombol kecil di sisi tape abu-abunya. Kabel panjangmya tersambung. Dia menawariku untuk mendengar, tetapi aku menolak.

"Dua hari yang lalu."

"Dianter beneran ke rumahnya, kan?" aku masih penasaran. "Sama keponakannya itu? Katanya mau tinggal di rumah dia aja?"

"Enggak tahu. Tapi Paman bilang gitu. Justru sekarang, keponakannya yang pindah ke rumah Paman."

Aku sungguh ingin tahu siapa keponakan Paman. Kutebak, dia mungkin berusia dua puluhan, perempuan, cantik. Perawakannya akan sama ramah dan lembut, persis Paman Harun.

Kami lalu terdiam. Kuhindari mata Wisnu dengan menatap pada coretan tipe-ex di meja anak itu. Bekas ulah kakak kelas terdahulu.

"Nila."

Fokusku buyar. Segera beralih begitu Si Anak Berkaca Mata kembali bersuara. Oh, tidak. Jika aku berani untuk melewati banyak anak yang duduk di bangku keramik panjang depan kelas, sudah pasti pergi dari sini adalah hal terbaik. Atau lebih baik aku duduk berjauhan saja dengan Si Ketua Kelas? Apakah tidak akan aneh?

Wisnu menyodorkan sesuatu. Tupperware bening. Berukuran sedang. Berbau harum. Ragu-ragu, kuperhatikan wajah anak itu yang tampak tersenyum tipis.

Bagaimana caranya untuk bersuara untuk mencegah canggung akibat letupan aneh yang tiba-tiba timbul? Apa yang harus kukatakan sekarang? Aku bingung.

"Soal perayaan kemarin. Karena enggak jadi, enggak apa-apa, kan, kalau aku ganti makanan rumah?"

Sebentar. Ya ampun! Mengapa dia mau repot-repot sama sekali?

"Kamu ... masak sendiri, Nu?"

Aku tidak percaya dan nyaris tertawa sebelum akhirnya anak itu terdiam kembali. Hampir semenit. Dia tak mengatakan apa pun, tetapi gestur itu sudah menjelaskan semuanya.

Aku tak boleh menolak kerja kerasnya kalau begitu. Mengatakan, "Kamu seharusnya enggak perlu repot-repot ngelakuin ini", adalah tidak sopan dan terkesan tak menghargai meski maksudnya bukan begitu. Untuk situasi sebelumnya, itu berbeda.

Orang akan lebih senang jika pemberian mereka diterima langsung bersamaan ucapan 'terima kasih' yang tulus.

Jadi, kukatakan saja sambil memaksa senyum yang berakhir kikuk dan canggung, "M–makasih karena kamu mau repot-repot buat ini."

Lagi pula saat melihatnya, ada paha ayam di sana. Jika di rumah, aku harus menahan-nahan keinginan untuk memakan daging itu hingga tiba hari perayaan dan peringatan besar. Namun, kali ini akuu tidak akan menahannya demi rasa sungkan.

Lalu, satu hal mengganjal di pikiranku.

"I–ini banyak, lho. Enggak mungkin kamu siapin buat aku habisin sendirian, 'kan? Tapi, Nu, bukannya Kak Nia bilang kamu enggak bisa makan nasi goreng?"

Ah, tidak bisa atau Wisnu tidak mau, ya? Aku kurang ingat jelas ucapan Kak Nia waktu itu.

"Kak Nia suka ngawur, Nila. Aku suka. Dia aja yang kalau buat kasih sambal pedesnya suka enggak dikira. Mana mau aku ikut makan?"

Benar. Selepas makan dan pulang dari rumah Wisnu, perutku kram tiada henti dan harus bolak-balik kamar mandi.

"Makasih karena udah mau repot-repot. Padahal, aku kan enggak banyak bantu kemarin. Apalagi pas hari H malah enggak masuk. Maaf."

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang