20: Turnamen

15 4 0
                                    

PERINGATAN⚠

Bagian ini mungkin memuat kesalahan informasi. Diperkenankan untuk mengoreksi apabila menemukan kekeliruan yang tidak disengaja.

•••

Bersama Ari dan Dika, kami duduk bersebelahan. Terapit di antara kerumun yang tak henti-hentinya bersorak sejak pertandingan dimulai. Andai bisa, aku ingin duduk di bagian kursi teratas tanpa peduli pada bagaimana harus kukerahkan tenaga untuk melihat pihak mana yang mampu menembus pertahanan lawan.

Ari sejak beberapa menit lalu menggerutu tiada henti. Selagi mulutnya panas akibat satu kotak mi super pedas yang dipesan sebelumnya, dua botol air—Satunya adalah milikku yang terjamah sedikit sama sekali—telah gadis itu habiskan.

"Sinting banget Ari ngajak kamu buat nonton! Berisik gini. Bikin puyeng!"

Dika terlihat mencebik ketika menatapku. Hanya sekilas, sebelum akhirnya Ari menyahut.

"Apaan? Eh, enggak ada yang ngajak kamu, ya, Ka? Ngapain, sih, nyusul kita kalau enggak suka? Lagi pula, Nila setuju, kok! Kalau ada apa-apa, juga, kita bakal pulang cepet!"

Mereka berdua saling lempar tatap tajam. Aku yang berada di tengah-tengah benar-benar merasa terimpit. Ari dan Dika bahkan tak ragu untuk bergantian melempar satu pukulan masing-masing di bahu. Dua orang itu akhirnya berhenti saat nama tim basket sekolah kami disebut.

Di sana, di lapangan itu, aku hanya mampu mengenali sedikitnya tiga orang. Selebihnya adalah wajah tak akrab tim lawan, dan dua orang lain dari tim kami merupakan siswa SMA Merah Putih yang hanya kuketahui wajah tanpa tahu nama mereka.

Tiga orang yang bisa kukenali hanya Bayu, Adin, juga Haikal—masing-masing dari mereka memiliki urutan nomor punggung sepuluh, tiga, dan sembilan di jersey biru gelap.

Mata Si Anak Sipit, Haikal, tampak tengah meneliti ke arah kursi penonton. Tepat di barisanku. Ketika akhirnya anak itu menemukan kursi kami, ia melompat dengan lambaian kecil bersama sebuah cengiran sebelum akhirnya kembali fokus karena satu rekan yang menepuk bahu anak itu.

Selanjutnya, ketika menyadari pergerakan Ari, dengan ancang-ancang kuangkat tangan menutup telinga. Dia menjerit, menunjuk-nunjuk pada seseorang di tengah lapangan yang berdiri tepat di sisi Bayu. Gadis itu bahkan berulang kali mengguncang lenganku hingga karenanya, dia mendapat omelan Dika yang menepis tangan gadis itu. Sempat mengatai Ari berlebihan dan tidak waras. Lalu, mereka kembali ribut kecil.

"Ya ampun ya ampun!"

Wajah antusias itu masih tak lepas. Ari berdiri, melompat. Skenario dalam kepalaku mulai terbentuk, bahwa setelah sekolah kami benar-benar mendapat kemenangan untuk ke sekian kali dalam pertandingan, kuyakin Ari akan berlari ke tengah lapangan dengan berteriak memeluk pujaannya yang masih terasa abu-abu bagaimana hubungan mereka.

"Mau pingsan aku, La! Liat-liat! Adin keren banget waktu ngusap rambutnya!"

Oh, tidak. Kuharap Ari akan berhenti berbicara menggelikan begitu saat ini.

"Lebay banget! Gitu doang dibilang keren? Enggak tahu kamu kan, Ri, seberapa keren dan ganteng kalau aku ngusap rambut?" Dika kembali menimpali yang nahasnya mendapat lirikan sinis Ari.

Kurasa, debat antara anak laki-laki itu dan satu gadis yang kini bersungut-sungut membela pujaannya tak akan pernah berakhir. Memang seharusnya aku tak berada di antara adu mulut mereka berdua.

"Bilang aja iri karena kamu enggak bisa masuk tim inti basket sekolah! Iya, kan?!" Ari tertawa. "Mentoknya cuma mau dijadiin pemain cadangan, kan sama pelatih makanya kamu enggak mau?"

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang