• [𝐀𝐍𝐒𝐈𝐄𝐓𝐀𝐒: 02/12] 16: Impian Besar Ibu

33 6 8
                                    

Di mana pun, di situasi orang yang terasa sesak dan berisik, di situ aku tak pernah bisa mengendalikan diri dengan baik. Selalu berakhir buruk jika mengunjungi suatu tempat sendirian. Seperti pergi ke pasar atau minimarket. Namun, berbeda dari kedua situasi di mana aku harus bentrok dengan situasi ramai yang bising, toko Paman Harun justru sebaliknya.

Meski beberapa orang tetap akan mengunjunginya. Ah, ya. Kupikir orang-orang mulai beralih minat. Jika dulu toko Paman begitu ramai bertahun-tahun sebelum terjamah canggihnya teknologi—penuturan yang kudapat dari beliau saat kami mengobrol—kini hanya beberapa orang yang setia berkunjung. Mereka bahkan kukenali sebagai pelanggan tetap. Paman bilang, mereka adalah orang yang memang sejak dulu sering kemari.

Selagi jam pulang sekolah hari ini lebih awal sebab banyak anak ekskul olahraga yang berlatih untuk lomba, kugunakan kesempatan itu untuk berkunjung ke toko. Mungkin, beberapa bacaan akan membuatku sedikit merasa lebih baik. Setidaknya, cemas mengenai lomba perlu kualihkan pada sesuatu. Membuat kesibukan agar bayangan itu tak terus-menerus menerorku bagai hantu.

Lagi pula, aku telah memastikan bahwa ini bukan sebagai bentuk pelanggaran pada aturan itu. Aku mencari buku. Bukan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tak Ibu suka.

Sebelum benar-benar menghabiskan waktu menekuri bacaan di sudut terjauh meja, aku sedikit membantu Paman bersih-bersih. Melap barang-barang antiknya di atas konter sambil mengajukan kembali beberapa pertanyaan seperti dari mana dan bagaimana Paman mendapatkan benda-benda langka ini, dan kebetulan banyak yang tak kuketahui sebab baru dibeli.

Untuk yang lain, aku bisa menebak bahwa Paman memang mengoleksinya sejak muda. Apalagi, mengingat umur beliau yang seusia Ibu, meski belum lanjut usia, tetapi minat besar Paman akan benda-benda seperti ini, sudah pasti di masa mudanya dulu beliau banyak mencari sebagai koleksi.

Dari kesemua barang lama yang Paman miliki, radio yang terletak di sudut konter selalu menjadi favoritku. Benda itu memiliki antena, berwarna hitam dan abu-abu, sempurna berbentuk persegi panjang.

Aku suka ketika Paman mulai menyetel benda itu dan akan timbul suara serak mirip orang batuk. Lalu, beliau akan disibukkan untuk mengatur posisi antena supaya suaranya jernih.

Radio ini selalu berhasil mengingatkanku pada sosok yang kini tak lagi di rumah. Sebuah kenangan lawas.

Selain hal itu, seorang lagi yang kuingat terasa familier dengan pemutar sejenis meski tak sama dari penampilan dan ukuran. Namun, keduanya bisa sama-sama diisi kaset pita untuk memutar musik.

Tidak tidak tidak! Apa yang baru saja kupikirkan? Kuenyahkan bayangan itu jauh-jauh dan menggantinya dengan suara amarah Ibu yang mendengung otomatis dalam kepala.

"Kamu udah dari tadi di sini, Nila?"

Kata banyak orang yang masih memegang teguh kepercayaan nenek moyang, jika kau memikirkan atau membicarakan seseorang kemudian orang itu benar-benar muncul setelah membicarakannya, itu berarti bahwa orang yang dibicarakan akan diberkati umur panjang.

Bagiku, terlalu tidak relevan untuk memahami relasi antara keduanya. Tidak masuk akal. Melantur seperti igauan tengah malam. Namun, baru saja aku mengalaminya.

Wisnu, dari arah dalam belakang toko tiba-tiba muncul bersama satu kardus besar yang dipeluknya kesusahan. Sebelumnya, aku menatap anak itu sebentar demi memastikan pendengaranku sendiri saat masih sibuk memperhatikan Paman yang tak selesai dengan antena radio.

Barangkali hanya keliru dengar. Sayangnya, itu memang dia.

"Ah, i–iya."

Akhirnya, aku benar-benar mengabaikan suara radio Paman dan memilih mengekori pandangan pada langkah Wisnu menuju depan.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang