02: Buku Sejarah

171 15 24
                                    

"Nila, kenapa lagi? Kenapa kemarin enggak masuk? Kamu sakit, ya?"

Ari menyambutku di depan gerbang dengan wajah mengerut. Kubalas itu hanya dengan senyum kaku dan gelengan pelan. Ari mengesah keras. Menyusul dengan langkah mengentak.

"Curang! Kamu selalu kayak gini, deh!"

Kami berjalan beriringan. Sementara aku terdiam menanggapi Ari, justru anak itu sibuk dengan omelan panjang lebarnya tentang mengapa tiga hari kemarin aku tidak masuk sekolah. Bahkan tanpa penghantar surat izin. Beruntungnya, Ari mengatakan sudah meminta izin pada guru piket atas absenku itu.

"Makasih banyak, Ri. Aku cuma sakit kepala, kok."

"Tolong, deh, lain kali bilang kalau ada apa-apa. Kamu mau, aku keriput buat pusing mikirin kamu?"

Aku tertawa. "Iya-iya. Aku kemarin lupa aja."

"Heleh! Boong dosa, lho!"

"Serius, Ri. Aku beneran lupa makanya enggak kasih kabar."

Beruntungnya, dia percaya. Masih sama seperti respon untuk alasan-alasan sebelumnya yang sering kuberitahu.

Begitu pembicaraan tentang alasan ketidakhadiranku ke sekolah berakhir, dengan cepat Ari mengubah topik. Seperti biasanya, pembicaraan gadis ini tak pernah luput dari anak-anak tim basket. Terutama Adin, yang entah sejak kapan ia mulai menggilai anak itu. Padahal sebelumnya, Ari termasuk dalam barisan penggila Bayu.

"Sumpah, ya, Nila. Aku ke mana aja, sih, selama ini? Kok iya baru nyadar kalau Adin enggak kalah keren!"

Kebetulan yang pas, Adin baru saja melewati kami di lorong depan kelas. Dia tersenyum ramah hingga giginya yang putih bersih tampak. Mengabaikan, aku beralih pada Ari yang tengah membalas senyum itu. Tepat setelah Adin menjauh, Ari menghentikan langkah. Secara spontan aku mengikutinya. Memperhatikan Ari dengan kening mengerut.

"Aduh, aku mimpi apa, sih, semalem? Dia senyum, La! Dia senyum ke aku, lho! Beneran jodohku kayaknya!"

Ari menepuk-nepuk pipi. Hingga memukul-mukul dada. Dasar sinting! Beruntungnya, di hari sepagi ini jarang sekali anak-anak tiba. Mereka biasanya akan sampai jika jam nyaris menunjukkan angka tujuh.

Aku pernah memiliki niat yang sama untuk berangkat di jam-jam genting seperti lainnya. Namun, ketika mengingat kembali akan raut wajah Ibu, segera saja kutepis pikiran bodoh itu. Tidak! Aku harus selalu lebih awal, kejar target pelajaran, dan dapatkan nilai bagus!

Lantas, aku bergegas. Meninggalkan Ari yang sepertinya masih terbayang senyuman Adin. Mungkin temanku yang satu itu akan sinting sungguhan.

***

Aku telah mencoba berulang kali. Menghitung, meneliti soal, lalu jawaban. Membuka kembali materi, mengingat rumus dan penerapannya. Begitu hingga rasanya kepala ingin pecah. Namun, tidak! Aku tidak akan menyerah semudah itu. Lima menit, adalah waktu yang Bu Ayu berikan untuk kami sekelas mengerjakan lima buah soal Matematika. Mengerikan!

"Waktu sudah habis, Anak-Anak. Sekarang kumpulkan!"

Seruan Bu Ayu bertepatan dengan goresan terkahir pensilku di lembar jawaban. Meski seluruh soal telah selesai, tiga diantaranya sama sekali belum kukoreksi. Rasanya tidak rela ketika Wisnu, Si Ketua Kelas Berkaca Mata itu mengambil lembar jawaban di tiap meja murid.

Saat tiba giliran kertasku akan ia tarik untuk dikumpulkan ke meja Bu Ayu, tanganku nyaris saja menarik kembali kertas itu agar tetap di tempat. Tidak boleh! Seharusnya kertas itu tidak boleh ada di mana pun kecuali meja ini. Mejaku. Ah, pasti nilai yang akan Bu Ayu berikan sama mengerikannya dengan nilai semester akhir setengah tahun lalu.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang