50: ABREAKSI

20 4 0
                                    

Meski sempat menurut saja sewaktu Wisnu memapah dan memintaku untuk duduk bersandar pada punggung ranjang sementara ia pamit untuk keluar, pada akhirnya aku tak benar-benar melakukannya.

Alih-alih, ketika Si Anak Berkaca Mata itu kembali, berdiri di ambang pintu dengan bungkusan plastik bening berukuran sedang menggantung di sebelah tangan, aku meminta dia untuk tetap di sana, sementara langkahku pelan begitu mendekat. Menyambar tas.

"Di luar aja, Nu. Di bangku depan. Di dalem UKS enggak nyaman."

Itu semua bohong. Ranjang di UKS yang selama sekolah belum pernah kusentuh—kecuali masa SD saat sekali tak sengaja terkena hantaman bola voli kakak kelas yang berlatih, mengenai hidung sampai mengeluarkan darah—terasa benar-benar nyaman. Empuk, hangat, dan pastinya tidak berisik dan tenang.

Aku bahkan hampir terlelap selama menit-menit menghabiskan waktu menunggu Wisnu muncul. Namun, ketika tersadar bahwa kondisi ini tak seharusnya menjebak, tubuh perlahan kutegakkan, urung untuk sebentar memejam.

Tidak boleh berduaan di ruang sepi tertutup seperti ini. Meski kondisiku bahkan darurat. Di luar ada bangku panjang yang cukup memanjangkan celah antara aku dan Wisnu ketika duduk nanti.

Selain itu, ada hal tak mengenakkan yang sejak tadi kupikirkan. Mengganggu dan terus berbisik dalam kepala.

Tidak mungkin Wisnu yang menanganiku waktu di dalam, bukan? Sewaktu pingsan itu?

Maksudku, dia kemungkinan besar melakukannya sebab aku tahu Si Ketua Kelas termasuk anggota Kader Kesehatan Remaja di sekolah, yang berarti selama kondisi sakit masih ringan untuk ditangani, tak perlu dokter untuk melakukan penanganan pertama.

Dengan cara apa untuk itu? Aku tak tahu. Tak mampu membayangkan apa pun.

Tidak tidak tidak! Itu mimpi yang sangat buruk. Katakan bahwa mungkin Wisnu tak melakukannya.

"Seriusan enggak apa-apa, Nila?"

Aku berjengit, sekilas melirik Wisnu dengan gusar, lalu mengangguk. Membiarkan anak itu mendahuluiku mendekati bangku.

Tidak, Nila. Yakini bahwa bukan dia. Iya, 'kan? Pasti. Tidak mungkin. Apa harus kutanya? Namun, apa yang akan Wisnu pikirkan saat dia mendengar pertanyaan anehku?

Berhenti berhenti berhenti! Pulihkan dulu kepala dari pikiran memusingkan. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk memeningkan otak lebih jauh.

Setidaknya, di sini adalah ruang terbuka. Angin bertiup lembut dan udara terasa jauh lebih bebas kuhirup. Di dalam UKS memang bisa menjadi tempat favorit untuk beristirahat dengan nyaman, sebelum akhirnya sadar, aku merasa sesak sebab berada satu ruang dengan orang lain dalam suasana canggung.

Sedangkan di luar, ada beberapa anak yang kadang melintas di halaman depan, lalu seorang bapak berumur senja yang sempat menyapa kami. Beliau mendorong troli sampah besar. Menyisir pot semen panjang berisi tanaman hias menggunakan pengait kawat panjang yang berbentuk mirip kail pancing di ujung.

Sesekali juga tangan berbalut sarung tangan karetlah yang harus menyeluk sampah yang lebih dalam bersembunyi.

Pasti ulah anak-anak nakal dan pemalas. Mereka sering kali menyusahkan dengan bersikap tak acuh pada kebersihan. Melempar sampah begitu saja tanpa melipat kecil atau memilah lebih dulu.

Terlalu malas untuk memisahkan sampah ke tempat sampah organik dan non-organik, dan yang berkaitan dengan pot semen panjang yang biasa ada di depan-depan tiap kelas lantai dasar, juga ruangan lain yang sama-sama berada di tingkat bawah, adalah sampah-sampah plastik terselip di antara tanaman hias yang sengaja anak-anak sembunyikan. Sedotan, kantung plastik, bungkus permen, bahkan permen karet.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang