Ah, tidak. Hubunganku dan Dika masih belum membaik setelah peristiwa itu. Padahal, kejadiannya berlalu lebih dari seminggu. Dia masih terasa berusaha menghindar untuk kami berpapasan. Sebab itu juga, beberapa hari ini fokusku terpecah. Khawatir dan takut sering kali menggangguku ketika belajar di rumah maupun di kelas.
Mengingat kembali, selama ini kami tak pernah memulai debat satu sama lain separah itu. Bahkan ketika aku tak menyukai leluconnya yang terkadang kelewatan dan tak pantas sama sekali.
Kendati begitu, aku terlalu tak kuasa untuk menemui Dika di kelasnya atau sekadar menghubungi lewat ponsel. Aku telah berpikir seyakin mungkin bahwa anak itu tak mungkin menerima pesan atau panggilan yang kubuat.
"Mau nitip, enggak, La? Mau ngantin, nih. Kali aja ada Adin."
Bagaimana cara agar aku dan Dika berbaikan? Jujur, tanpa anak itu beberapa hari ini, kesulitan yang kualami nyatanya lebih parah. Aku berusaha untuk tak begitu tergantung dengan Dika. Dengan siapa pun. Namun, semuanya terasa sia-sia.
Aku telah melanggar gagasan Ibu untuk menjadi gadis kuat dan mandiri. Kenyataan bahwa aku tak seberani itu mampu memukulku telak. Pemikiran mengapa aku harus takut berada di antara orang banyak terus menghantui?
"La?"
Satu tepukan di bahu menyadarkanku kembali ke kenyataan.
"Eh, i–iya, Ri. Kamu mau ngomong apa?"
Ari mengibas rambut hitam panjang sepunggungya yang tak diikat ke belakang punggung. Gadis itu tengah menatapku dengan kening mengerut. Mungkin ia sebal sebab kuabaikan. Nyaris semenit Ari menatap selidik padaku, kupalingkan wajah pada buku yang sama sekali belum kubereskan sejak bel istirahat.
"Pasti lagi ada masalah, 'kan? Cerita, gih!"
Senyum canggung kuulas.
"Ah, enggak ada. Cuma kepikiran mapel bahasa Inggris. Nanti aku pinjem catetan kamu, ya?"
Ari terdengar mengesah.
"Kamu lagi kebentur atau gimana? Bukuku, lho! Yang isi kertasnya aja tipis karena sering kubuat lempar-lemparan. Tahu sendiri, kan, aku langganan telat nyatet? Rajinnya cuma kalau pakek teknik The Power of Kepepet karena enggak mau dihukum bersihin toilet."
Benar. Alasanku terlalu melantur.
Ari menarik kursi milik anak lain yang berseberangan dengan meja kami. Gadis itu menyamankan duduk untuk selanjutnya menggenggam tanganku yang gelisah meremat pulpen.
"La, tolong jangan sering gini, dong. Aku jadi ngerasa enggak berguna banget, deh. Kamu sahabat aku. Kenapa kayak orang asing gitu? Cerita aja kalau ada sesuatu."
Kulirik Ari yang masih tak melepaskan tautan matanya padaku. Bagaimana? Apa aku harus benar-benar menceritakan masalah ini?
"Aku ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...