25: Di Belakang Toko

22 6 0
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, kupikirkan berbagai kalimat yang tepat untuk diucapkan pada Ibu mengenai tugas kelompok Sejarah yang mesti kulakukan. Karena jam pulang pasti akan sedikit lambat, juga pastinya, aku tak bisa berdiam diri pada Ibu mengenai partner kelompokku yang ternyata Wisnu. Anak laki-laki.

Ini tugas sekolah. Jelas, Ibu tak akan keberatan dengan itu, 'kan? Tidak mungkin beliau marah, 'kan?

Benar, Nila. Ini bukan masalah besar dan ibumu selalu mendukung apa pun sesuatu yang berhubungan dengan belajarmu.

Di depan meja belajar, beberapa buku kuambil dari loker di bawah kaki sebelah kanan. Sebagai persiapan untuk besok, sekaligus buku lain kuraih yang kuperkirakan berguna untuk mencari materi tambahan sebagai bahan tugas kelompok. Meski masih belum pasti pembahasan apa yang akan aku dan Wisnu ajukan sebagai materi nanti.

Aku juga sempat memeriksa kondisi Rika yang mulai murung sejak hari pengambilan rapor. Anak itu bahkan segan untuk hadir di meja makan dan sedikit membuat Ibu sebal. Ketika kutanya, dia hanya menangis. Rika bahkan tak mau kubujuk dengan apa pun.

Untuk kali ini, aku juga berinisiatif untuk mematikan mode senyap yang biasa disetel dalam ponsel ketika belajar. Hanya mode getar biasa dan deritnya menandakan bahwa kemungkinan besar yang menghubungiku adalah Ibu, Ari, atau Dika yang seringnya anak itu meneleponku di waktu-waktu mulai belajar atau di jam-jam terakhir menjelang tidur.

Pertama kali menyimpan nomornya, aku ingat pernah memperingati Dika untuk tak sering menghubungi melalui pesan atau panggilan telepon jika tak ada sesuatu yang benar-benar penting dan genting.

Karena bagaimana pun, aku selalu tak suka bunyi notifikasi ponsel yang sering kali masuk. Sayangnya, Dika tak menanggapi permintaan itu dengan baik. Hingga berakhir pada keputusanku yang sebagian besar waktu menyalakan mode hening. Namun, kali ini situasinya berbeda.

Satu notifikasi pesan berdenting. Kuketuk dua kali layar kunci hingga memunculkan balon pesan. Lag-lagi nomor asing. Namun, kalimat di bawahnya membuatku untuk bergerak membuka sepenuhnya aplikasi pesan.

+62XXXXXXXXXXX
Ini nomerku. Wisnu.
18:07

Pesan itu terkirim tiga menit yang lalu dan aku baru mendapatinya ketika baru mengaktifkan data seluler.

Oh, oke.
18:11

Aku kembali pada buku LKS. Ponselku kembali bergetar setelah sepuluh menit dihabiskan untuk mencermati jawaban pilihan ganda, dan menandai beberapa nomor soal yang masih tak kupahami penyelesaiannya, juga jawaban nomor-nomor itu yang terasa mirip dalam lima butir pilihan A sampai E.

Wisnu [Tugas kelompok]
Besok, sepulang sekolah, sekitar
pukul empat kita langsung kumpul di toko buku. Selama dua minggu waktu yang dikasih, kita ngerjainnya tiga kali pertemuan dalam seminggu. Per harinya kuatur buat jeda sehari. Gimana?
18:21

Kedua ibu jariku masih mengambang di atas layar. Bingung pada balasan apa yang sebaiknya kutikkan. Apakah akan cukup dengan hanya membalas 'ya', 'oke', atau 'setuju'? Haruskah sedikit lebih panjang? Lalu, seperti apa kalau begitu?

Aku tak pernah berkirim pesan dengan teman sekelas lain selain Ari. Jadi, ketika kali ini harus menghadapi kenyataan baru, aku cukup bingung untuk mengatasinya.

Oke. Pukul empat.
18:25

Kutekan tombol kirim hingga beberapa saat merasa ada yang kurang dari balasanku. Tidak, itu terlalu pendek dan kurang jelas. Jadi, aku kembali mengirim pertanyaan.

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang