Hari ini benar-benar tiba. Kuhela napas berat begitu mulai melangkahi gerbang dengan gerak cepat.
Berulang, dalam kepala kubisikkan untuk tak terlalu cemas. Hanya perlu mengisi lembar jawaban sesuai dengan yang telah dipelajari di kelas dan rumah.
Tidak akan sulit, asalkan aku ingat dan paham. Tidak akan semenyeramkan semester akhir kelas sepuluh lalu. Tidak masalah. Ibu hanya memintaku untuk menanjaki peringkat dua, yang berarti, aku satu tingkat di bawah Wisnu, dengan keberhasilan menggeser posisi Lembayung.
Benar, seperti itu. Aku tak perlu khawatir apa pun. Iya, kan? Jika bingung nanti, aku hanya perlu menjawab sesuai keyakinan dan pertimbangan matang. Namun, begitu tersadar seberapa kacau rutinitas jadwal belajar selama masa SMA juga kondisi buruk diri sendiri yang selama ini coba kusangkal, semua bisikan baik itu lenyap. Tak bersisa.
Alih-alih, mereka berganti menjadi dengung panjang, melengking, lalu sepenuhnya mewujud sebuah pusaran memusingkan yang mengerikan. Aku tahu pasti ini akan berjalan sangat buruk jika apa-apa yang sudah kupelajari hilang begitu saja.
Kemarin malam mungkin puncaknya, atau bahkan masih bukan apa-apa. Bagaimana bila ada momen yang jauh lebih mengerikan nantinya?
Pasti, hasil ujian akan sama mengecewakan dengan yang lalu. Ibu akan lebih bersedih, dan aku makin sadar tak akan pernah mampu mengembalikan rasa bangga beliau yang hilang.
Aku nyaris menyerah dan berniat mengikuti ujian susulan andai tak bertekad untuk tak ingin membuat Ibu kecewa. Setidaknya, satu tablet pereda nyeri perut tadi pagi cukup membantu. Mengabaikan sarapan memang buruk, tetapi memaksa menelan makanan hanya akan membuat perutku jauh lebih mual.
Pada ujungnya, seluruh yang kutelan akan tetap berakhir di lubang pembuangan sudut terjauh kamar mandi.
Sejak bangun tidur dan mendapati kamar dalam keadaan tak biasa—seprai kusut dengan bantal carut-marut berada di bawah, sebab ulahku semalam yang terjaga dalam keadaan tak nyaman bersama buku dan suara serak radio Ayah—kepalaku pening luar biasa.
Rasa mual memaksa untuk memuntahkan seluruhnya bahkan meski hanya cairan bening, sampai kurasa perut benar-benar kosong selama semalam penuh, lalu berlanjut ketika bangun tidur setelah satu jam mendapati waktu terlelap. Bibir terasa kering dan pandanganku berkunang-kunang.
Beruntungnya, pagi ini aku bangun sedikit lambat, hanya dua puluh menit, yang berarti keadaan rumah sepi. Kuharap Ibu tak akan sekali pun memeriksa kamar pagi ini. Beliau pasti mengerti keadaanku saat belajar untuk ujian.
Meski telat hampir setengah jam dari jadwal bangun, waktu berangkatku tak akan berubah. Sekolah masih lengang dengan hanya beberapa puluh murid yang hadir.
Sebagian dari mereka duduk di undakan paling depan gedung, lalu lagi di bangku keramik di sisi pohon beringin, mengernyit memperhatikan buku yang dipangku sambil beberapa kali telingaku menangkap mereka menggumamkan teks dengan lantang untuk kemudian berubah bisikan.
Makin mendengarnya, makin aku yakin hari ini mungkin akan sedikit buruk, atau malah sangat buruk. Apakah aku mampu mengingat semua materi poinnya?
Sebagian lagi yang masih berada di tempat parkir hanyalah sekumpulan anak perempuan bersama dengan anak laki-laki yang sibuk tertawa. Ada yang baru parkir, ada yang sudah melepas helm.
Aku cepat melewati lorong. Menunduk memperhatikan langkah, hingga tahu-tahu tak sempat menyangka bahwa satu anak perempuan yang bertugas piket nyaris kutabrak saat ia menepuk-nepuk taplak meja di depan pintu kelas.
Gadis itu mengucap maaf yang hanya kubalas senyum kaku dan ujaran kikuk, "Ah, iya. Enggak apa-apa." Lantas setelahnya aku benar-benar hampir berlari.
Mualku melilit kembali. Pening menyerang. Membuat langkahku sendiri serasa mengambang. Apa pun yang terlihat tampak membingungkan. Satu, lalu menjadi dua bayangan, mereka memisah, lalu menyatu lagi menjadi wujud benda sempurna. Kuenyahkan pening dengan memejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...