Kepalaku sangat berisik begitu meninggalkan Dika. Ada sebersit perasaan tak enak saat menyikapi anak itu dengan cara yang belum pernah kumau. Tidak ada sedikit pun pemikiran untuk membenci apa pun dan menjauhi Dika seperti ini. Namun, sikapnya yang cukup tak paham diri itu membuatku sangat berang.
Entah apa yang harus disalahkan di sini. Aku yang hanya diam, ataukah Dika sendiri yang keras kepala dengan egonya?
Apakah ada kemungkinan lain andai aku memberi tahu hal ini lebih dulu kepada Lana? Seperti dia yang mungkin tak akan kecewa sebesar itu, tak marah, dan tak melakukan hal-hal berbahaya.
Apakah mungkin dia dan Dika tak akan memiliki masalah sekeruh ini andai aku memberi tahu lebih dulu semua yang terjadi dengan foto itu? Apakah Lana akan lebih sedikit melonggarkan tindakannya?
Jelas aku merasa tak enak dengan perubahan sikap Lana. Sebab, bagaimana pun, sedikitnya aku memiliki keterlibatan dengan hal ini. Lebih fatalnya adalah kebungkamanku yang makin merunyamkan semuanya. Lana tahu dan dia benar-benar marah.
Aku bukan peduli atau takut bahwa dia akan menjauh atau apa pun. Lebih dari itu, aku hanya benar-benar merasa bersalah, sangat sangat bersalah, dan hal ini akan terus mengganggu sampai aku bisa meminta maaf dan menjelaskan situasi tanpa pembelaan diri sama sekali. Karena memang begitu semestinya, bukan?
Kesalahan adalah cacat. Aku tak bisa membiarkan perasaan itu terus mengendap sampai kapan pun.
Terus berjalan. Jangan menoleh ke mana pun. Lekas ambil sepeda. Pulang ke rumah, merenung, temukan solusi, istirahat, atau jika jenuh memikirkan semuanya di rumah, aku akan berkunjung ke toko buku. Menjelaskan semuanya pada Paman kendati mungkin beliau akan marah besar mengetahui apa yang telah terjadi antara aku, Lana, dan Dika. Jika Paman mereda, aku dengan tak tahu diri akan meminta bantuan.
Tidak mungkin, bukan, aku menemui Lana secara langsung sementara situasinya begitu buruk? Aku tak sanggup untuk menampakkan diri di depannya atau bahkan tak sengaja berpapasan dengan anak itu.
Kurasa, jarak dan status kami sebagai murid tersingkir dan populer di sekolah sekarang tak berarti apa-apa lagi.
Membayangkan jika hal seperti ini dulu adalah mustahil mengingat status Lana sebagai bintang dan idola di sekolah, sementara aku hanya seorang murid biasa yang mencoba untuk memperbaiki nilai, sekarang keadaan justru berbalik. Entah mengapa bahkan aku bisa lebih dekat daripada yang anak-anak kira tentang kami melalui foto itu.
Aku jadi bertanya-tanya, mengapa harus Lana?
Kakiku terus melangkah. Makin cepat, hampir berlari andai saja tak segera berhenti sebab apa yang tengah menungguku di depan benar-benar tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Mengapa? Mengapa Lana berdiri di sana? Apa yang dia lakukan dengan berdiri menghadapku di sisi jalan?
Pikiranku mulai menduga-duga. Dia mungkin akan sama-sama menghajar seperti yang dilakukannya pada Dika, atau memaki dengan amarah meluap—walaupun aku tak yakin dengan hal itu. Hanya, mungkin saja Si Kapten Basket menahan seluruh kata-kata kasar yang ingin ia lontarkan padaku, sejak perjumpaan pertama kami waktu lalu setelah masalah di rumah Paman.
Dia kemari sekarang. Dadaku mulai berpacu bersamaan rematan tangan yang mulai basah. Mengapa jalan setapak ini begitu sepi? Apakah orang-orang berhenti berkendara sebab langit yang muram? Aku bingung memperhatikan sekitar. Jam tanganku berbunyi, harus segera pulang sekarang. Namun, bagaimana mungkin untuk melewati Lana begitu saja di depan sana?
Tidak tidak tidak! Dia benar-benar di depanku. Berdiri tegak dalam keadaan persis kacau dengan sebelumnya.
Tubuhku mendadak kaku. Seolah batu sementara betis kuyakin sangat lemas. Lengan bahkan gemetar begitu mendapati pandangan anak itu yang tak bisa kukatakan lembut. Jika ini merupakan adegan bertemu penjahat, seharusnya aku berlari karena dia sudah siap untuk menerkam. Menghajar, lalu menyeretku jauh dan tak bisa pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈
Teen Fiction[A 𝐓𝐞𝐞𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 (𝐘𝐨𝐮𝐧𝐠 𝐀𝐝𝐮𝐥𝐭) 𝐏𝐬𝐲𝐜𝐡𝐨𝐥𝐨𝐠𝐲𝐜𝐚𝐥 Story] [𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤 𝐝𝐚𝐟𝐭𝐚𝐫 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 "𝐊𝐞𝐤𝐮𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐧𝐢𝐭𝐚" 𝐨𝐥𝐞𝐡 @𝐀𝐦𝐛𝐚𝐬𝐬𝐚𝐝𝐨𝐫𝐈𝐃] Nila tahu, di usianya yang sudah menginjak tujuh belas tahu...