31: Bukan Hompimpa

15 5 0
                                    

Sejak masa sekolah, aku selalu menghindar untuk terlibat permainan bersama anak-anak, kecuali dalam pelajaran olahraga yang biasanya guru kami akan melempar permainan terkait pelajaran yang dibahas.

Lebih seringnya beregu daripada individu. Dalam situasi itu, aku selalu merasa ketakutan.

Sayangnya, seperti yang kukatakan sebelumnya, karena sikap yang sering menghindar, alhasil permainan beregu yang kumasuki kelompoknya berakhir kalah hanya dengan satu kesalahanku yang tak disengaja.

Aku ketakutan ketika harus menjaga benteng sementara teman-teman sekelompok tertangkap dan ditahan musuh. Lantas, aku hanya berdiri gamang, menjaga seadanya dalam kalut takut memandangi seringai-seringai itu.

Aku merasa bahwa akan habis saat itu juga. Lalu, akhir kalah itu selalu mutlak. Mereka berhasil menyentuh benteng kami, dan teman-teman seregu yang marah kompak mengatai kepayahanku.

Alasan penghindaran itu selain tak sanggup untuk menghadapi wajah kecewa yang akan ditunjukkan teman-teman apabila aku bergabung, aku juga enggan saling mendorong dan mengejar. Tubuhku mungkin bergerak semangat, tetapi akan segera lesu begitu kembali.

Aku tak mau tertangkap sekali pun. Tak boleh, karena ketika itu terjadi, aku harus menjadi penjaga, mengejar anak-anak yang jelas lebih gesit dan cerdik menghindar dariku.

Aku tak mau kehabisan tenaga. Aku tak suka menjadi kalah. Aku tak suka kembali ke kelas dengan peluh yang tercetak basah besar di punggung seragam. Lalu mendapati omelan panjang Ibu ketika pulang, bahwa putrinya menjadi anak gadis nakal yang membawa bau masam keringat ke rumah.

Dalam permainan yang mengkhususkan pertahanan perseorangan pun, aku banyak tak ikut andil. Lebih sering, aku terdiam dalam kelas bersama buku-buku dan duduk di kursi bagian tengah sampai bel masuk berikutnya berbunyi.

Atau jika tidak, aku hanya akan duduk di bangku panjang keramik depan kelas seorang diri andai ruang belajar kami disesaki oleh sebagian anak-anak lain yang tidak mau ikut dalam permainan kejar-kejaran.

Diam seorang memperhatikan mereka yang berisik menangkap satu sama lain di halaman, sambil sesekali kubayangkan gerbang depan sekolah yang biasanya dijejali pedagang es krim dan cilok.

Aku akan mengintip saku, lalu akan mengesah lesu mengetahui uang yang tak cukup untuk merasakan dengan nikmat jajanan itu. Harus ditabung, pesan Ibu.

Kuremat rok seragam. Menyadari bahwa waktu yang akan kuhabiskan di sekolah masih terlalu panjang.

Sampai di hari itu, entah atas inisiatif apa, mungkin karena paksaan seorang gadis berkucir tinggi yang sedikit akrab denganku di bangku SD dulu—si ketua kelas periang bermata cerah—berteriak bahwa ia tak mau bergabung dalam permainan jika aku tak ikut. Akhirnya, aku memilih pasrah dan bergabung karena perasaan tak enak hati yang tak terbendung lagi.

Aku mengangguk sambil memasang senyum terbaik yang kubisa. Berusaha bertingkah semenyenangkan mungkin. Memasrahkan diri saat tangan gadis itu menarik lenganku bersama tawa.

Ketika aku pergi dan melirik sekilas pada satu-persatu reaksi anak-anak, mereka tampak menyeramkan. Tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku tertunduk dan menjauh, aku tak menyukainya.

Saat mendapati pandangan sejenis, aku selalu berpikir asal bahwa bisa menerawang pikiran masing-masing kepala mereka. Memunculkan berbagai kemungkinan yang masih kuduga-duga kebenarannya.

Apa yang mereka pikirkan? Mengapa ada yang tertawa? Mengapa ada juga yang berbisik-bisik dengan teman lain di sebelahnya? Mengapa mereka memandangiku? Apa yang mereka bicarakan dalam kepalanya?

Apakah aku aneh? Apakah ada sesuatu yang salah dariku? Apakah ada sesuatu di rambut, seragam, atau sepatuku? Apakah ada sesuatu tak menyenangkan yang mereka pikirkan? Sikapku, barangkali? Atau bisa juga keterkejutan mereka karena aku mau bergabung bermain?

𝐀𝐁𝐑𝐄𝐀𝐊𝐒𝐈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang