Penyesalan

543 47 47
                                    

Semua rencana berjalan lancar. Ainun yang sudah tertidur pulas di gendong Reval ke dalam kamar. Sedangkan yang lain kembali pulang. Ima juga masih tidak mau lepas dari Umi Dania, dan memilih tetap ikut bersama keluarga ustadz Yusuf.

"Astagfirullah, Ainun kenapa Re?" Mama Ayu yang baru saja bangun terlihat sangat cemas.

"Ssssut, jangan kenceng kenceng!!!" Reval menekan suaranya dengan nada pelan.

"Nanti Re jelaskan. Biar Re bawa Ainun buat istirahat dulu" lanjutnya.

Selang beberapa saat saja, Reval kembali ke lantai bawah. Dia juga sudah di tunggu oleh kedua orang tuanya untuk penjelasan.

"Apa lagi yang kamu perbuat Re. Gak habis-habis buat istri kamu begini" ucapan Papa Dista itu terdengar mengintimidasi.

"Biar Re jelaskan semuanya"

Semua menatap serius. Meski jam menunjukkan pukul 2 malam, namun mata mereka justru semakin terbuka lebar mendengar semua ceritanya. Semua orang merasa haru dan pilu mendengarnya. Reval sendiri semakin di buat merasa bersalah dengan semua sikap dan perilaku yang ia lakukan hari ini.

....

Rasa lelah membuat Reval ingin segera melepas tubuhnya pada ranjang empuk di kamarnya. Akan tetapi, pintu yang baru saja ia buka dan belum sampai sepenuhnya terbuka lebar sudah membuat Reval tertegun di tempat.

"Ainun?" Kaki jenjang itu melangkah cepat setelah ia tidak melihat keberadaan Ainun di dalamnya.

"Sayang, kamu di mana?" Mulai panik.

Perasaan lelah itu lenyap seketika. Ia semakin panik dan terus menyusuri ruangan itu secepat mungkin. Hingga langkah kakinya terhenti di hadapan pintu di ujung ruangan. Ia membuka pintu kamar mandi itu perlahan.

"Astagfirullah, kamu kenapa?" Tubuh Reval juga ikut basah kuyup di bawah guyuran shower. Ia terus mendekap tubuh Ainun yang sudah menggigil kedinginan.

"Aku harus siap-siap mas. Ayah pasti sudah nunggu lama" tangisnya memang tidak terdengar, namun air matanya tidak kunjung mengering.

"Ayo. Kita bicara di luar. Kamu bisa sakit kalau begini caranya" mengarahkan Ainun agar meninggalkan kamar mandi.

Baju yang basah sudah mereka ganti. Rambut panjang Ainun juga di rapikan Reval, ia juga tidak lupa mengeringkan rambut istrinya dengan penuh kesabaran.

Setelah di rasa cukup aman. Ainun yang sudah terlelap tidur masih di pandangi Reval. Tirai yang sebelumnya membatasi mereka di kikis Reval agar lebih dekat. Tubuhnya yang tak kalah lusuh juga tertidur dengan memeluk Ainun di sampingnya. Meski matanya tak kunjung terpejam, pelukannya bahkan tidak bisa meregang. Ada begitu banyak penyesalan yang merajam dalam dirinya. Tentang semua kebohongan dan ucapannya di rumah sakit, itu tidak bisa menghilang dalam bayangannya. Semua itu terekam jelas dalam ingatan di kepalanya.

"Handphone aku mana mas?" Pertanyaan itu sontak saja membangunkan Reval yang terasa baru saja terlelap.

"Apa?" Mengusap wajah sembari mengumpulkan tenaga.

"Handphone aku mana?" Tegasnya mengulang.

"Aah, ituu. mas lupa bawa. Handphone kamu ketinggalan di rumah sakit kemarin!" Tersenyum ragu-ragu.

"Jadi benar mas yang melempar handphone aku. Itu bukan mimpi?" menatap datar tanpa ekspresi.

Reval yang sebelumnya berpura-pura sibuk membereskan ranjangnya tertahan mematung. Tidak ada jawaban yang bisa ia berikan selain degup jantung dan nafas yang mulai tidak terkontrol.

"Jawaab!" Suara Ainun mulai jelas dan meninggi.

Langkah dekat Reval di tolak cepat dengan dorongan kuat Ainun.

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang