Talak

517 49 25
                                    

"mas, kapan sampai?" Sapa dokter bedah berparas ayu dengan hijabnya itu. Ia baru saja selesai dengan tugasnya setelah berjam-jam lamanya.

Ustadz Yusuf terdiam tanpa kata. Hanya lirikan sinis secara samar-samar yang terlihat. Sofa empuk ia duduki dengan tenang. Tidak ada ekspresi yang berarti saat istrinya datang menyalami.

"Mas udah makan? Mau Lia pesankan atau kita makan di luar?" Tersenyum ramah dan duduk di samping suaminya.

"Astagfirullahalazim, astagfirullahalazim" berzikir di sela-sela perasaan kecewanya.

"mas Yusuf,"

"Allahuakbar, Allahuakbar" masih tidak menjawab. Kedua matanya terpejam menahan amarah.

Hal itu semakin membuat dr. Adelia bertambah bingung. Ia menatap penuh tanya dengan suaminya itu. Ia masih belum menyadari keberadaan map coklat juga handphone yang ada di atas meja di hadapan mereka.

"Mas, aku ada buat salah__"

"Diam Lia. Lebih baik sekarang kita pulang!" Tegas ustadz Yusuf yang terucap secara tiba-tiba.

Tubuh lelaki berkulit putih itu beranjak dengan cepat setelah meraih kasar sebuah map coklat dan handphone yang ada di atas meja. Seketika dr. Adelia menyadari sesuatu telah terjadi. Ia juga terburu-buru mengikuti langkah sang suami yang sudah menghilang dari pandangannya.

Sesampainya mereka di rumah, tepatnya saat mereka akan memasuki kamar pribadi mereka, kedua pasangan itu sempat terhenti saat Umi Dania datang menghampiri.

"Eeh, ini kan masih sore. Kenapa cepat sekali pulangnya? Kalian ada acara ya?"

Melihat suaminya yang tidak menjawab dan malah buru-buru masuk, raut wajah kepanikan semakin terpahat jelas dari wajah dr. Adelia. Ia juga turut masuk tanpa menjawab pertanyaan itu. Entah bingung atau takut, namun yang jelas dr. Adelia saat ini tengah dilanda kecemasan.

Setelah pintu tertutup, perdebatan mereka akhirnya dimulai.

"Mas tidak akan bertanya. Tapi mas yakin, kamu tau apa yang memang harus di jelaskan!"

Gadis cantik itu tidak mampu menjawab. Kedua daun bibirnya semakin tertutup rapat. Tangannya juga turut meremat masing-masing pada sela tangannya. Wajahnya tertunduk dengan wajah memerah karena rasa takut yang bergejolak.

"Ngomong Lia, ngomooong!" Suara itu semakin meninggi.

"Hiks, hiks,
Maaf mas, maaf"

"Mas gak butuh maaf kamu!
Mas mau kamu jelasin semuanya!!!" Masih berteriak keras.

"MAS!
Cukup ya, disini aku yang istri kamu. Bukan dia!" Mengangkat pandangan seraya melawan dengan tatapan tajam.

"Aku berhak melarangmu menghubungi gadis lain. Dan itu tidak salah!" Lanjutnya.

"Salah Lia, Salaah!"

"Perlu kamu tau. Kalau bukan In yang memaksa mas untuk tetap menikah, kalau bukan dia yang mengalah, dan kalau bukan In menolong mas saat mas ingin mengakhiri hidup mas. Kita tidak akan pernah menikah, kamu tau itu!!" Tegasnya membentak.

"Dia juga yang membuat mas bisa cinta sama kamu Lia. Apa itu tidak cukup?!
Tapi kenapa kamu malah merahasiakan semuanya dengan mas? KENAPA?!"

Ustadz Yusuf perlahan mendekat. Ia semakin di buat bergetar dengan amarahnya sendiri saat berhadapan dengan istrinya saat ini.

"Lia, dia itu memang orang yang mas cintai dulu.
Dia hidup sebatang kara dengan adiknya sekarang. Dan penyebab kematian orang tuanya adalah karena mas terlambat datang untuk menyelamatkan mereka"

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang