Memulai

302 33 18
                                    

Dalam derap langkahnya, kebingungan menghantui pikirannya. Reval berulang kali mengulang lirikan sesaatnya ke arah Ainun dengan kedua tangan yang sibuk membersihkan beberapa perabotan.

Glek!
Perasaan canggung membuat cairan bening saliva kian memenuhi rongga mulut Reval. Entah sudah keberapa kali ia menelannya sembari mencoba mendekatkan posisinya. Tepat setelah ia mengumpulkan seluruh keberaniannya, ia menggeser tubuhnya hingga dapat menatap jelas dan dekat wajah istrinya.

Ssssrrrrt...
Hanya detik tak berarti, tirai putih yang sebelumnya terbuka itu Ainun tarik dan menutupi seluruh ranjangnya dengan cepat. Sejujurnya Ainun tidak suka dengan kehadiran laki-laki yang tidak ia kenal yang ternyata adalah suaminya di sana.

"Kalau sudah selesai, tolong tutup pintunya ya pak!" terucap lantang, tubuhnya ia leburkan pada ranjang empuk tanpa beban.

"B,,ba,baik"

Sedikit gugup, jawaban Reval tidak mendapat respon berarti. Namun, yang sangat terekam jelas pada memori kepalanya adalah tatapan Ainun sebelum tirai itu tertutup. Acuh, datar dan jelas sangat kentara perbedaannya dengan Ainun yang dulu.

Kedua manik mata yang selalu menyipit tanda sebuah senyuman yang terus merekah saat bersamanya. Senyum cantik yang terlihat jelas meski Ainun memakai cadarnya. Tatapan itu bahkan tidak pernah Reval lihat saat bersama dengan Ainun.

Debar jantung menghentikan segala aktifitasnya. Pandangan yang sempat bertemu sesaat itu telah menjawab semua keraguan dalam benaknya. Sedikit goresan mengenai ulu hatinya saat mendapat respon acuh dari seseorang yang sangat ia rindukan. Namun, mau bagaimana lagi, keadaan tidak memberikannya pilihan untuk memperbaiki semuanya.

Anggukan kecil itu hanya berbalas senyum tipis penuh keraguan dari Reval. Saat pintu telah tertutup, kehadirannya di sambut hangat oleh dokter Adelia. Meski tidak bisa membantu banyak, dokter Adelia hanya berusaha menghibur untuk terus membangkitkan semangat juang Reval.

"Gak papa. Pelan-pelan aja!" tambahnya. Tengan mungil itu bahkan tak lupa menepuk pundak Reval untuk meyakinkan.

Meski tidak menjawab, dokter Adelia paham dengan maksud dari sikap diamnya sang kakak. Lelah, pasti. Tapi bukankah, sekali lagi ucapan Reval terjawab jelas. Keinginannya untuk melihat sang istri sembuh dan siuman meski ia harus bersedia untuk di benci.

.....

Beberapa hari telah berlalu. Kehadiran Reval telah menjadi hal yang biasa untuk Ainun lihat di dalam kamar rawatnya. Namun, masih seperti biasa pula, acuh dan tidak peduli, sikap itu ia berlakukan untuk semua orang yang datang.

"Assalamualaikum"

Kehadiran ustadz Yusuf menambah hening suasana. Tidak hanya Reval yang menatap ke arahnya, namun Ainun yang sebelumnya duduk termenung menatap ke arah luar jendela ikut teralihkan perhatiannya.

"Gimana kabarnya?
Kamu belum boleh pulang?"

Tatapan mata Ainun sedikit melirik ke arah Reval sejenak, lalu kembali memperhatikan ustadz Yusuf.

"Cari siapa?
Ustadz salah kamar!"

"Enggak kok. Saya memang mau jenguk kamu"

"Tapi, saya gak kenal ustadz"

"Tapi saya kenal setiap jamaah yang datang ke pengajian saya setiap hari. Jadi saya memang sengaja datang ke sini untuk menjenguk kamu"

Dengan kedua alisnya yang mengerut, kelopak matanya bahkan ikut menyipit untuk memastikan siapa laki-laki yang datang untuk menjenguknya ini. Sebab sudah 5 hari semenjak Ainun siuman, ustadz inilah orang pertama yang datang menjenguknya.

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang