Foto buangan

183 24 23
                                    

"Selamat pagi!" sapa seorang pegawai di meja kasir rumah sakit.

"Pagi!" balas Ainun seramah mungkin.

Sebelum kedatangan Ainun pagi itu, Papa Dista telah melakukan pengumuman besar-besaran pada setiap pegawai yang ada. Memberitahukan jika akan ada seorang pegawai yang masuk pagi ini, tapi tidak ada yang boleh memerintahnya. Tidak ada yang boleh menegur orang itu untuk bekerja lebih keras. Karena ia adalah putri nya. Namun, satu hal yang harus mereka perhatikan adalah tetap tidak membuat percakapan yang akan menimbulkan kebingungan atau rasa penasaran Ainun nantinya.

Siapa yang tidak tau. Nasya Ainun Adinata adalah putri tunggal yang di perkenalkan Papa Dista selaku pemimpin rumah sakit tersebut. Meski ada saja yang mungkin tidak suka dengan hal itu. Tapi jika mereka masih ingin bekerja di sana, maka semua yang di katakan Papa Dista harus mereka jalani.

"Mari non saya antar keruang direktur!" seorang suster menghampiri Ainun. Rupanya ia memang sudah lama menunggu kedatangan kedu orang yang sangat di spesialkan oleh papa Dista.

"Non?" terhenti. Ainun melihat dengan raut wajah kebingungan.

"Iya!"

"Sus! Saya kerja di sini. Bukan datang sebagai majikan!" tegas Ainun.

"A,,aa,, ah iya. Maaf maaf! Saya sepertinya memang salah bicara." gugup. Hampir saja ia kehilangan pekerjaan jika sampai salah bicara.

"Panggil Ainun aja sus! Oh ya, ruangan Dokter Yudistira dimana ya?"

"Mbak Ainun ikut saya!"

Tanti hanya mengikuti dari belakang. Ia tidak mengatakan sepatah katapun. Namun langkahnya terus mengikuti jejak tapak sepatu lusuh milik Ainun di hadapannya.

Waktu berjalan begitu cepat. Kini Ainun dan Tanti telah berada di ruang kerja Papa Dista. Meski mereka tidak menemukan keberadaan sang dokter di sana, namun suster yang mengantar mereka sebelumnya telah memberi tahu jika orang yang mereka cari tengah berada di ruang rapat. Mereka di minta untuk menunggu sebentar lagi di dalam.

Dari informasi yang di berikan Tanti sebelumnya pada Reval, kini ia tau bahwa Ainun telah masuk bekerja bersamanya di sana. Hal itu tentu di sambut bahagia oleh Reval yang sebelumnya mengira bahwa Papa Dista akan melarang istrinya untuk bekerja di sana.

Dari balik jendela kaca pada ruang kerja Papa Dista, Reval menatap punggung gadis cantik tanpa hijab yang duduk membelakanginya di dalam. Andai saja waktu itu bisa ia hentikan untuk beberapa detik, mungkin Reval sudah pergi memeluk tubuh gadis yang termat ia rindukan itu. Tapi lagi-lagi ia sadar, untuk saat ini ia tidak bisa melakukan hal itu.

Di balik tubuh Reval, langkah cepat pria paruh baya dengan jubah besar kedokteran kian dekat. Papa Dista rupanya telah di infokan oleh suster yang mengantar Ainun dan Tanti ke ruangannya bahwa orang yang di tunggu-tunggu telah tiba. Meski ia sempat melirik ke arah Reval, namun langkah itu tidak ia hentikan meski hanya untuk menyapa. Ia hanya melewati Reval begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun.

Cklek!
Pintu kayu itu tertutup. Menimbulkan kesan bunyi yang menghancurkan keheningan. Seketika itu juga wajah kedua gadis yang ada di dalam ruangan sontak berbalik. Melihat seseorang yang datang ke sana.

"Aduh! Maaf ya. Saya tadi ada meeting sebentar." langkah itu tak terhenti. Yang ada, ia semakin terburu-buru menuju meja kerjanya. Melepas alat medis yang menggantung di lehernya lalu duduk di kursi putarnya.

Tanti dan Ainun yang duduk di sofa empuk sebelumnya kini melangkah dekat. Menghampiri posisi sang direktur agar lebih dekat. Dengan langkah pelan dan sedikit gugup mereka mendekat ke arah pria paruh baya itu.

"Silahkan duduk!"

"Iya. Terimakasih," keduanya menjawab kompak. Duduk dan menunggu perintah selanjutnya.

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang