siapa saya?

258 32 22
                                    

"biar saya aja"

Ustadz Yusuf mencoba untuk menggantikan posisi Tanti. Karena baginya, menenangkan anak kecil tidaklah sulit. Ustadz muda itu sudah sangat terbiasa berinteraksi dengan banyak anak kecil, terlebih dahulu ia memang cukup dekat dengan Ima.

Tanti tidak menjawab. Namun tubuhnya terdorong mundur dan memberikan celah bagi ustadz Yusuf.

Tubuhnya merengkuh dan meraih Ima untuk mendekat. Tarikan nafas cukup panjang begitu nyata terdengar saat ia juga mencoba untuk bertenang.

"Tuan putri nya paman itu anak yang pintar!
Ima mau dengar rencana kejutan buat mama Ainun gak?!"

Isak tangis yang sebelumnya bernaung kini seketika hening.

"Hmm..
Paman sama bibik dokter udah punya kado tau, buat hadiah mama Ainun.
__

Sebenarnya ini rahasia. Jadi mama Ainun gak boleh dengar."

Pemikiran gadis kecil itu teralihkan dengan cepat setelah mendengar pancingan ustadz Yusuf. Ia membalikkan tubuhnya dengan cepat dan menatap tajam wajah ustadz Yusuf. Kedua manik matanya saja masih basah oleh air mata. Namun, seketika ia beralih fokus karena ucapan yang ia dengar.

"Apa?"

"Seperti yang paman bilang. Kejutannya gak boleh mama tau, jadi kita gak bisa dong bicara di sini.
__

Gimana kalau Ima ikut paman ke luar. Supaya kita bisa buat rencana dan mama Ainun gak tau?!"

"Ayo!"

Tubuh mungil gadis kecil itu terangkat melayang. Dekapan kuat menggantung pada tubuh ustadz Yusuf yang dengan cepat membawanya keluar. Dan untuk sementara waktu, ia akan membawa Ima untuk bertenang. Karena hal itu juga pasti berpengaruh pada kesehatan mentalnya.

.....

Kepergian mereka semua menambah suasana hening dalam kamar itu. Sisa-sisa air mata yang sudah bernaung dalam pupil mata pria paruh baya itu perlahan mengalir. Setiap butiran yang mengalir kian membasahi pipi keriputnya.

Hal yang terjadi sebelumnya papa Dista rahasiakan. Saat ia menggenggam tangan dingin putrinya, rupanya hal itu mendapat respon dari Ainun. Pergerakan tangannya akhir-akhir ini memang mengalami peningkatan, termasuk dengan pupil matanya yang sudah tidak berdilasi. Hal itu dapat diartikan sebagai sebuah peningkatan kondisi yang sangat signifikan.

Namun, hal yang membuat papa Dista semakin bergejolak dalam sedihnya adalah ungkapan cucunya sebelum itu. Meski di satu sisi ia berbahagia atas pemulihan kesehatan Ainun, namun sisi lain dalam hatinya juga ketakutan.

"Nak!
Papa tau, kamu bisa mendengar perkataan Papa sekarang. Andai kamu bisa melihat, kamu akan tahu bagaimana kondisi papa sekarang.
__

Nak. Sekarang papa sudah bisa berjalan. Papa tidak lagi menjadi penonton di atas kursi. Tapi...
Kenapa kamu masih tidak mau bangun?!"

Rasa sakit seperti sebuah tusukan tepat mengenai relung hatinya. Isak tangis yang ia sembunyikan tidak bisa mengubur deraian air mata.

"Kamu janji mau lomba lari dengan papa kan?!
Ayo bangun!
Cepat bangun!
__

Tolong berjuang!
Jangan mau seperti papa. Kamu harus bangun, dan sembuh dengan keadaan normal " kata-kata itu diakhiri dengan kecupan manja pada kening sang putri.

Tak lupa sebelum pergi, papa Dista menutup tirai itu untuk menutupi Ainun. Usapan kasar pada wajahnya menambah lusuh keadaan saat papa Dista keluar dari dalam kamar itu.

....

Seperti yang telah Reval janjikan. Ia datang menghadiri pernikahan sahabat istrinya tanpa membawa siapapun sebagai pendamping. Hal iti dikarenakan sampai saat ini, sang istri masih dalam keadaan koma. Jadi ia sengaja datang untuk mengisi undangan itu yang juga menggantikan kehadiran istrinya.

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang