Hari ke - 100

458 50 71
                                    

Gadis kecil itu berlari cepat ke arah kamar Revan. Ia juga bergegas membereskan semua barang-barangnya untuk pergi. Karena seperti yang telah di janjikan Ainun sebelumnya, Ima akan di bawa pergi setelah urusan di ruma ini selesai.

Di sisi lain, Ainun masih kokoh berdiri dengan membelakangi Reval. Ia tidak berniat untuk berbicara banyak dan memilih untuk fokus pada tujuan awalnya. Jadi ia tidak akan membuang-buang waktu lagi di sana. Meski sudah cukup lama terdiam setelah penuturan suaminya itu, rupanya kedua tubuh itu masih tetap terdiam di posisinya masing-masing.

"Aku terlalu bodoh kalau harus mendengar penjelasan kamu lagi. Lagi pula tidak ada topik yang perlu di bahas kan" menjawab. Tubuh gadis bercadar itu kini sudah berbalik dan menatap tajam suaminya.

"Kita sudah selesai mas. Dan ini adalah hari yang kamu harapkan bukan?" ucapan itu tentu mengisyaratkan sesuatu. Dengan percaya diri, Ainun menyilangkan kedua tangan lalu mendekap di bawah dadanya seolah ia akan memenangkan perdebatan ini lagi.

"Aku tidak peduli lagi mas. Mau kamu keluar dengan siapapun, kemanapun, aku gak peduli. Tidak ada lagi omong kosong atau janji yang tidak penting yang perlu aku dengar. Karena kita SELESAI!" Lanjutnya.

"CUKUP!!!" tegas Reval yang sudah lama menahan amarahnya. Kedua manik matanya semakin menyorot tajam.

"Kalau gitu, sekarang jelaskan sama Mas semuanya!" Masih dengan nada suara yang keras.

"Kamu perempuan terjaga kan? Kamu juga tentu lebih faham agama.
Tapi apa itu yang membuatmu menjadi lebih berani berbuat semaunya di belakang mas. Karena tubuh kamu yang tertutup sempurna, sehingga orang-orang akan menganggap kamu yang paling suci, sehingga mau dosa apapun kamu tetap terlihat benar?"

"A, apa??" Merasa tidak percaya dengan apa yang telah ia dengar, Ainun merasa sangat terhina mendengarnya. Kedua tangan yang sebelumnya bertautan terlepas perlahan, dan kini tertinggal genggaman keras yang meremas udara kosong di genggamannya.

"Itu tujuan kamu bersi keras berpisah kan. Supaya kamu bisa bebas keluar entah kemana dengan siapapun. Iya kan!?" Pertanyaan itu semakin menyudutkan istrinya.

"Apa kamu tidak sadar, Ressti sudah mengorbankan perasaannya agar kita tetap bersama. Dia rela di poligami dan tidak memaksa aku untuk menceraikan kamu. Tapi kamu malah bersikap semaunya!" Lanjutnya kian geram.

Sejenak menutup kedua pelupuk matanya, hembusan nafas kasar terdengar merebak. Gadis bercadar itu berusaha mengumpulkan semua tenaganya untuk menjawab setiap tuduhan dan pertanyaan itu.

"Ini,,
Inilah yang membuat aku selalu berfikir. Dimana tempat aku di sisi kamu sebenarnya?
Kamu selalu menjaga perasaan dan mengutamakan Ressti. Kamu anggap aku gak punya perasaan. Iya?!" Kini Ainun juga tidak mau kalah, ia juga turut menaikkan nada suaranya.

"Lalu karena itu kamu mencari perhatian pada laki-laki lain. Bermanja dengan ustadz Yusuf yang kamu banggakan itu"

"Diam kamu mas!
Dia tidak ada hubungannya dengan ini!
Ini justru tentang kamu, tentang kebohongan kamu, Ressti dan perceraian kita. Jadi stop bawa-bawa orang lain!" Tegas memperingatkan.

"No!!!
Justru kamu yang harusnya diam!
Kamu masih saja tidak mengerti dengan penjelasan Mas...

Tidak mudah berada di posisi mas dengan dua Dunia berbeda selama Satu tahun. Berdiri di sini dan harus membagi waktu dengan kalian berdua"

"TAPI AKU JUGA ISTRIMU KAMU!" Berteriak. Suara itu semakin terdengar meninggi hingga memenuhi seisi ruangan.

"Aku hidup bersamamu...

Aku juga menginginkan kebahagiaan.
Dan aku juga menghabiskan 1 tahun ini dengan hidup di tengah-tengah kalian. Apa kamu fikir itu mudah?
Apa kamu fikir aku tidak mau hal lain?

AINUN s.2 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang