Waktu terus berputar. Sekarang jam di tangan Vanny nyaris menunjukkan jam sepuluh malam. Astaga. Bagaimana bisa makan ayam geprek menghabiskan waktu hampir tiga jam? Ckckck. Semoga saja Vanny dan Esti tidak keburu diusir oleh pelayan di restoran itu.
"Jadi ... itulah kronologisnya," tuntas Vanny menjelaskan kronologi kejadian lengkapnya seperti yang diminta oleh Esti tadi. "Sekarang menurut kamu ... aku harus gimana?"
"Ehm ...."
Esti mendehem dengan penuh irama. Dan kali ini dehemannya agak lama ketimbang kebiasaan ia mendehem pada biasanya. Hingga membuat Vanny panas dingin juga menunggu perkataannya.
"Sebelumnya aku mau nanya."
"Apa?"
"Kamu segitunya nggak mau ketemu lagi sama Haris?"
Pundak Vanny terjatuh. Ia mengangguk sekali dengan lemah. "Iya."
"Ehm ... ya udah. Kalau gitu, kamu nggak usah kerja di sana aja. Beres kan?"
Vanny meringis. Tentu saja, bukan berarti ia tidak memikirkan pilihan itu. Alih-alih sebenarnya ia sudah memikirkan hal tersebut semenjak ia meninggalkan gedung Bumi Pertiwi yang menjulang tinggi itu.
"Tapi, kan masalahnya aku butuh kerja, Es."
Esti melirih sambil manggut-manggut. "Aaah! Kamu bener. Kamu lagi butuh kerjaan. Sorry. Aku lupa itu."
"Itu yang ngebuat aku maju mundur, Es. Aku butuh kerjaan. Tapi, masa aku harus kerja sama mantan pacar aku sendiri sih?" Vanny geleng-geleng kepala dengan mata yang memejam. Seakan ia menolak bayangan masa depan yang bisa saja terjadi padanya. "Nggak. Nggak. Pokoknya aku nggak mau kalau itu sampe kejadian. Hiks. Apa kata dunia coba?"
Esti garuk-garuk kepala. Ia sebenarnya pusing juga sih. Jujur saja, ia iba melihat Vanny. Tapi, tetap saja. Ada lucunya. Menurut Esti, kemungkinan mantan pacar bertemu sebagai atasan dan bawahan itu kecil sekali. Bahkan lebih besar kemungkinan mendapatkan angka satu yang keluar dari pelemparan dadu bermata lima puluh.
"Sekarang sih tergantung lagi sama kamu, Van. Kalau kamu mau mundur dari kerjaan itu, seenggaknya kamu kan bisa nyari kerjaan lain. Dan ... kayaknya kalau untuk masalah biaya hidup ehm ...." Esti menggantung sejenak ucapannya. Ia tampak menimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. "Aku yakin uang tabungan kamu masih banyak untuk bertahan hidup seenggaknya sampe sebulan ke depan."
Vanny membuang napas panjang. Matanya berkedip dengan pelan seperti sudah tidak ada tenaga lagi. Sepertinya kali ini ia tau. Bahwa mungkin memang hanya ada satu jalan yang harus pilih.
"Kayaknya ... aku memang harus mundur deh."
*
Oke. Rezeki bisa dicari. Tapi, kewarasan batin itu yang harus diutamakan.
Vanny sudah membulatkan tekadnya. Karena hasil renungannya dan pemikiran Esti membawa ia ke pilihan yang sama. Yaitu, mundur dari pekerjaan itu.
Maka di Senin pagi itu, Vanny pun bergegas mandi dengan riang gembira. Ia memilih stelan kerja yang bagus dan memastikan bahwa dandanannya apik. Sungguh, kalau ia harus bertemu dengan mantan pacar, itu artinya ia harus menunjukkan penampilan terbaiknya.
Oh! Vanny sama sekali tidak terpikir untuk memberikan kesempatan bagi Haris untuk berkata seperti ini.
"Semenjak putus sama aku, kamu jadi kucel gini ya? Kayak anak kucing yang dibuang pemiliknya aja."
Vanny menggeleng sekali. Mengusir bayangan Haris yang bisa saja mencemooh dirinya kalau penampilannya menyedihkan. Setidaknya ia harus tampil seperti wanita karier masa kini. Yang rapi dan menguarkan aura kepintaran tiada tara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...