46. Ibu, Selalu Di Depan!

827 79 11
                                    

"Nggak. Aku nggak mau dengar apa-apa. Mama jahat."

"Haris Sayang, dengerin Mama dulu."

"Nggak. Pokoknya aku nggak mau dengar apa-apa dari Mama."

"Ya ampun, Haris. Mama minta maaf."

"Nggak. Aku nggak mau maafin Mama. Mama tega sama aku."

"Haris, Mama bukannya tega. Tapi, Mama cu---"

"Nggak, aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Aku males sama Mama."

Sekar tidak bisa melakukan apa-apa ketika Haris memotong perkataannya. Dan tak hanya itu, Haris pun lantas bangkit dari duduknya. Mengambil tas kerjanya dan lalu pergi dari sana. Meninggalkan Sekar seorang diri di ruang baca dengan aneka rasa bersalah.

"Ya ampun. Malah jadi berantakan begini."

Sekar membuang napas panjang. Berdecak sekali seraya geleng-geleng kepala. Sekilas melirik pada novel di atas meja, sekarang jelas saja minat membacanya hilang seketika. Tergantikan oleh kebingungan yang menguasai kepalanya.

Sekar menggaruk kepalanya. Salah satu kebiasaan tidak sopan yang sudah lama ia tinggalkan. Tapi, kali ini otaknya benar-benar terasa sulit berpikir. Harus bagaimana ia meminta maaf pada Haris?

"Fikri."

Tidak ada hujan tidak ada badai. Nama pengemudi ojol itu terucap begitu saja dari bibir Sikar. Membuat mata Sekar membola seketika dan ia segera meraih ponselnya.

Tanpa berpikir dua kali, Sekar menghubungi nomor ponsel Fikri. Dan tak butuh waktu lama, praktis hanya dua detik, panggilannya langsung diangkat. Kala itu Fikri langsung menyapa.

"Halo, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"

Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin Sekar menghubungi Fikri?

Sekar bangkit dari duduknya. Wajahnya terlihat penuh harapan ketika menanyakan satu hal pada cowok itu.

"Kamu masih ingat kan apartemen yang Haris datangi kemaren?"

*

Vanny mendorong troli dengan pikiran yang tidak tenang dan perasaan yang gundah gulana. Penyebabnya? Tentu saja Haris.

Seharian ini kenapa sikap dia begitu?

Tidak ingin memikirkannya, tapi Vanny tidak bisa menahan kehendak otaknya sendiri. Jelas sekali ia bisa melihat bagaimana seharian ini Haris seolah tidak menganggap dirinya ada.

Biasanya dia selalu ngoceh kalau sama aku. Biasanya selalu cari alasan buat nyuruh aku datang ke ruangan. Tapi, kenapa hari ini dia beda ya?

Membuang napas panjang seraya mengambil seikat kangkung, Vanny menerka di dalam benaknya. Mungkinkah karena kejadian semalam sehingga Haris bersikap seperti itu padanya? Seolah menjauh?

Berat mengakui, tapi sedikit logika Vanny bisa membenarkan apa yang Haris lakukan. Itu bukan salah Haris bila pada akhirnya ia benar-benar memilih untuk mengabaikannya. Bukankah itu keinginan Vanny?

Tapi, setelah kami tidur dua kali dan setelah dia ngomong cinta ... masa dia malah pergi?

Vanny merasa dirinya begitu payah. Sadar bahwa memang itu keinginannya agar Haris pergi dari hidupnya, tapi di lain sisi ada keinginan yang sebaliknya. Seolah tidak terima karena Haris melakukan itu padanya.

Udahlah, Van. Nggak usah mikirin Haris. Dan kamu harus janji pada diri kamu sendiri. Lain kali kamu nggak boleh kebawa suasana.

Sejujurnya saja ada sedikit pemikiran negatif yang melintas di benak Vanny. Yang menuding bahwa bisa saja Haris seperti cowok yang lain kan? Yang dengan senang hati merendahkan diri. Bermanis mulut mengumbar janji. Seolah-olah hanya ada satu cewek yang berada di dalam hati. Tapi, nyatanya itu hanyalah sebuah strategi.

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang