75. Ambang Batas Seseorang

683 80 5
                                    

Bhakti mengintip dari balik jendela. Tatapannya lurus ke seberang sana. Pada mobil hitam yang baru saja masuk melewati gerbang rumah. Itu jelas adalah Widia.

Keluar dari mobil dan membanting pintunya demi melampiaskan emosi yang sedang mendera, Widia seolah lupa bahwa ada Tasya di dekatnya. Cewek itu terlonjak kaget. Tapi, berusaha untuk tidak terkesiap. Lantaran khawatir membuat Widia semakin bertambah marah.

"Dasar! Ini pasti kerjaan Papa!"

Widia menggeram dengan kedua tangan yang mengepal. Masuk. Mengabaikan asisten rumah tangga yang datang menyambutnya. Ia terus melangkah. Dengan tujuan ingin menemui Bhakti secepatnya.

Namun, langkah kaki Widia kemudian terhenti seketika. Karena sebelum ia sempat menuju kamar demi menemui sang suami, Bhakti telah muncul di hadapannya.

Bhakti melewati satu anak tangga terakhir. Matanya menatap lurus pada Widia. Tanpa ada ekspresi sama sekali.

"Mama."

Tasya yang mengejar ibunya sontak turut menghentikan langkahnya pula. Ia terdiam seketika di tempatnya berdiri. Melihat bergantian pada kedua orang tuanya, Tasya bisa merasakan dengan jelas aura yang tidak menyenangkan di antara mereka. Mencekam.

"Dari mana?"

Suara Bhakti terdengar. Dengan rendah, datar, dan seperti tidak menyiratkan apa-apa. Tapi, nyatanya berhasil membuat Tasya meneguk ludah.

Tasya tau. Bhakti marah. Dan seharusnya Widia juga tau. Tapi, mengapa ia tampak tak acuh?

Widia mendengkus. Menampilkan ekspresi tak peduli.

"Bukan urusan Papa," jawab Widia santai. "Aku mau pergi ke mana, itu bukan urusan Papa."

Dua langkah, Bhakti mendekati Widia. Tanpa ada kedip matanya menatap. Membuat dua orang asisten rumah tangga yang kebetulan melintas, langsung mempercepat langkah kakinya.

"Mama pergi ke tempat Vanny?"

Widia membalas tatapan Bhakti. "Kalau sudah tau, kenapa nanya? Ck. Apa karena Papa penasaran aku melakukan apa pada putri kesayangan Papa itu?"

Bhakti tidak menjawab pertanyaan Widia. Ia memilih diam ketika rasa panas hadir dan memenuhi dadanya.

"Tenang, Pa. Aku nggak melakukan apa pun pada Vanny. Toh, Papa sudah nyuruh mereka buat ngusir aku kan?"

Melayangkan pertanyaan itu, Widia geleng-geleng kepala dengan mimik tak percaya. Lalu ia mendengkus geli. Tertawa dengan ekspresi yang jelas sekali mencemooh.

"Papa benar-benar tega ya? Aku nggak pernah ngira kalau Papa tega melakukan hal seperti itu pada aku. Nyuruh orang-orang rendahan itu untuk ngusir aku?!"

Geli dan tawa Widia menghilang. Tergantikan kemarahan ketika pada akhirnya ia turut melangkah pula. Makin mengikis jarak antara dirinya dan Bhakti. Ia mengangkat wajah.

"Sesayang itu Papa dengan Vanny? Sampai Papa tega menyuruh orang untuk mengusir aku?!"

Hanya Tuhanlah yang tau betapa Bhakti tidak ingin ribut lagi dengan Widia. Tapi, hingga di titik itu, Bhakti justru bertanya-tanya.

"Kenapa Mama nggak mau dengar apa yang aku katakan? Kenapa Mama menemui Vanny?"

Widia membuang napas dengan kesan merendahkan. Ia menyeringai.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Pa. Jawab pertanyaan aku," ujar Widia kemudian. "Papa sayang dengan Vanny?"

Rahang Bhakti mengeras. Lalu tegas ia menjawab.

"Tentu. Aku sayang Vanny. Dan untuk itu aku memperingatkan kamu, Widia. Jangan ganggu dia."

Widia memejamkan mata dengan dramatis. Ia menggeleng berulang kali.

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang