Jangan ditanya bagaimana keadaan Vanny setelah menghubungi Esti malam itu. Tentu saja jawabannya cuma satu. Makin pusing. Maka tidak heran sama sekali kalau wajahnya makin kusut di keesokan harinya. Dan itu mendorong Haris untuk kembali menyeletuk ketika mereka sarapan.
"Tuh kan! Kamu pasti kurang tidur lagi loh. Kenapa sih? Apa kamu nggak bisa tidur gara-gara mikirin aku?"
Dugaan Haris memang benar. Tapi, tentu saja bukan dalam konotasi positif seperti yang ada di benaknya. Alih-alih sebaliknya. Vanny mencoba bersabar.
"Bukan karena mikirin kamu, Ris," tampik Vanny menggeleng. "Tapi, karena aku teleponan sama Esti sampe malam."
"Oh."
Haris angguk-angguk kepala seraya mencomot sekeping biskuit. Di hadapannya, Vanny sedang menghabiskan soto. Walau ia merasa tidak nafsu makan, tapi deretan jadwal yang terekam sempurna di kepalanya sukses membuat ia melahap sarapan itu. Setidaknya Vanny masih ada akal waras. Jangan sampai mendadak pingsan dan memberikan kesempatan Haris untuk ngapa-ngapain dia.
Soto sudah habis dan Vanny menutup sendok serta garpunya. Mengelap sekilas bibirnya dengan sehelai tisu, ia berkata.
"Aku duluan ya. Ada yang mau disiapkan dulu."
Namun, Haris menahan tangan Vanny sebelum cewek itu beranjak. Buru-buru bicara sebelum Vanny keburu menepis tangannya dan beranjak dari sana.
"Bentar, Van. Aku cuma mau nanya sesuatu sebelum kita kerja hari ini," ujar Haris. "Ajakan aku semalam gimana? Mau?"
Vanny melepas tangan Haris perlahan. Sungguh itu adalah awal hari yang tidak ia inginkan. Apalagi saat itu bukan sedikit orang yang tengah menikmati sarapannya. Ia tidak ingin menarik perhatian orang banyak.
Satu gelengan Vanny berikan pada Haris. "Nggak. Hari itu aku mau tidur aja seharian, Ris."
"Baiklah kalau gitu," angguk Haris. "Apa boleh buat."
Kelegaan menyeruak di dada Vanny. Membuat ia meninggalkan Haris dengan langkah ringan. Mengira kalau Haris menerima penolakannya. Padahal aslinya tidak begitu.
Masih dengan menikmati biskuit yang tersaji di mejanya, Haris memutar otak. Mencoba mencari jalan untuk meluluhkan Vanny ketika satu panggilan membuat ponselnya berdering di dalam saku. Getarnya lumayan sukses membuat ia kaget.
Ketika melihat siapa yang menghubunginya, Haris menarik napas panjang. Itu adalah Sekar yang meneleponnya. Yang tentu saja ingin tau keadaan Haris selama di sana.
"Iya, Ma. Aku baik-baik saja kok," ujar Haris setelah menyapa dan sedikit berbasa-basi pada ibu kandungnya itu. "Mama gimana? Sehat di sana?"
"Mama sehat. Cuma kepikiran kamu aja. Kapan sih kamu balik?"
Senyum geli timbul di bibir Haris. Sekilas ia mengusap ujung hidungnya yang terasa sedikit gatal.
"Aku loh baru tiga hari di sini, Ma. Aku balik masih lima hari lagi."
"Loh? Kok lima hari lagi? Katanya kamu cuma seminggu di sana."
Tidak mengherankan sama sekali bila Haris mendapati ibunya protes. Tapi, mau bagaimana lagi. Haris sudah memutuskan untuk menambah hari di sana. Lantaran ia ingin mengajak Vanny jalan-jalan seharian penuh.
"Ehm ... aku kan mau keliling juga, Ma. Terus ke pusat perbelanjaannya," ujar Haris. "Mau nyariin oleh-oleh buat Mama tersayang."
Haris yakin kalau alasan itu tidak akan gagal merayu Sekar. Dan terbukti. Suara Sekar terdengar berbeda di detik selanjutnya.
"Kamu ini. Padahal lagi kerja masih saja ingat sama Mama. Kamu memang anak kesayangan Mama, Ris."
Tentu saja. Orang anak Mama kan cuma aku sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...