"Pak, apa ini nggak sedikit keterlaluan?"
Mendehem demi mengusir seringai geli yang masih bertahan di wajahnya, Haris mengangkat kepala. Melihat pada Astrid yang tampak menjeda makan siangnya. Wanita paruh baya itu melihat padanya dengan sorot tak tega. Tapi, jelas sorot itu bukan untuk dirinya. Alih-alih untuk seseorang yang kebetulan tidak turut menikmati makan siang bersama dengan mereka.
"Ehm ... sedikit keterlaluan?" tanya Haris pura-pura tak mengerti. "Maksud Ibu?"
Astrid mengembuskan napas panjang. Kali ini ia memutuskan untuk menaruh sejenak sendok dan garpu yang ia gunakan. Wanita paruh baya yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun itu menatap pada bos yang sudah ia layani selama empat tahun belakangan. Memang bukan waktu yang lama, tapi tentu saja bukan waktu yang sebentar. Dan selama itu ia tau persis bagaimana sifat putra mantan bosnya terdahulu itu.
"Pak, kalau Pak Arif tau hal ini---"
"Ssst!"
Haris buru-buru menaruh jari telunjuk di depan bibirnya sendiri. Dengan desisan yang mengiringi, mata cowok itu membesar.
"Pamalik, Bu, pamalik. Jangan ngomong yang aneh-aneh ah. Ntar malaikat lewat malah jadi doa lagi."
Astrid meneguk ludah. Menelan kata-kata yang tadi sudah siap ia ucapkan. Haris pun membuang napas lega.
"Papa nggak bakal tau kalau nggak ada yang ngasih tau. Dan kalau Papa tau, kita udah ada alasan. Sama dengan alasan yang kita kasih ke Vanny," ujar Haris yang diikuti oleh senyum lebar di wajahnya. "Karena Ibu sudah nggak bisa nemani aku ke mana-mana full time."
Pundak Astrid tampak jatuh. Tapi, wajahnya benar-benar tidak bisa berbohong.
"Saya kasihan loh sama Vanny, Pak. Dia keliatan banget tertekan gara-gara pinalti itu."
Haris buru-buru menutup mulutnya. Tapi, nahas. Tawanya justru semakin meledak. Menyembur tak terkira.
"Hahahahaha."
Tawa di atas penderitaan? Inilah bentuk nyatanya. Astrid sudah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri. Di mana ketika ada seorang cewek yang tampak nelangsa ketika mendapati ada pinalti sebesar satu milyar rupiah, ternyata ada seorang cowok yang justru tertawa terbahak-bahak.
"Kan dia nggak perlu bayar pinalti sih kalau dia tetap mau kerja. Dia cuma bayar pinalti kalau dia mundur dari kerjaan ini. Simple kan?"
Tidak sesederhana itu. Tentu saja. Astrid pun tau.
"Malah sebenarnya aku itu baik hati loh, Bu. Aku tuh hanya ingin memastikan kalau Vanny akan memanfaatkan lowongan pekerjaan ini dengan sebaik mungkin. Cari kerjaan itu susah. Eh dia malah mau mundur seenak dia."
"Yang Bapak bilang memang benar sih," kata Astrid seraya menahan ringisannya. "Tapi, nggak gini juga kali, Pak. Gimanapun saya itu bisa lihat kalau Vanny beneran nggak mau kerja jadi sekretaris Bapak. Dia kayak yang nggak mau deket-deket dengan Bapak."
Tawa Haris menghilang seketika. Bahkan langsung tergantikan manyun.
"Ibu kalau ngomong jangan kelewat jujur bisa nggak sih? Buat aku bad mood saja."
Astrid membuang napas panjangnya. Tak ingin, tapi sekelumit senyum geli muncul di sudut bibirnya.
"Nggak bisa, Pak. Sebagai tangan kanan Bapak, saya dituntut untuk harus jujur."
Haris mencebik. Memutuskan untuk membasahi sejenak tenggorokannya yang terasa kering dengan dua tegukan air putih.
"Terutama untuk yang satu ini."
Kali ini wajah Haris yang tampak lesu. Pundaknya pun ikut-ikutan jatuh.
"Bapak nggak kasihan gitu lihat Vanny?" tanya Astrid kemudian. "Dia keliatan banget stres loh, Pak. Wajahnya keliatan kusut gitu semenjak dia tau soal pinalti di surat kontrak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...