Sedikit terasa asing, memang. Bukan karena mereka sama-sama tidak nyaman dengan situasi itu. Melainkan karena keduanya masih canggung. Masih berusaha membiasakan diri untuk kembali akrab setelah dua puluh lima tahun hidup tanpa kehangatan.
Vanny melirik. Di sela-sela menikmati hidangan makan malam itu, ia berulang kali mencuri pandang pada Bhakti. Melihatnya diam-diam.
Memang. Sudah beberapa hari berlalu. Itu bukan yang pertama kalinya Vanny dan Bhakti makan di meja yang sama. Di apartemennya. Tapi, rasanya masih seperti mimpi bagi Vanny.
Vanny menelan makan malamnya. Masih tak percaya dengan hari-hari yang ia lalui belakangan ini. Semuanya masih terasa mimpi.
Namun, itu adalah kenyataan. Karena tidak akan ada mimpi yang senyata itu. Bahkan bukan hanya keberadaan Bhakti di meja makan saja yang bisa menjadi bukti. Alih-alih hal yang lainnya pula.
Beberapa hari yang lalu, setelah sehari dari kedatangan Bhakti ke sana, apartemen Vanny kedatangan orang-orang. Itu adalah suruhan Bhakti. Yang membawakan barang-barangnya.
Sekarang pakaian dan semua barang yang berkaitan dengan pekerjaan Bhakti sudah pindah ke sana. Dan itu adalah bukti nyata selanjutnya. Bahwa mulai dari hari itu, Vanny memang tinggal bersama dengan ayahnya.
Suara dehaman Bhakti menggugah kesadaran Vanny. Ia mengerjap. Buru-buru memalingkan wajah. Melihat pada semangkuk sop ayam yang ada di meja makan. Lantas bertanya pada Bhakti dengan gugup.
"I-ingin tambah, Pa?"
Bhakti hanya menjawab singkat seraya mengangguk. "Boleh."
Bukannya Bhakti tidak tau. Jelas ia bisa merasakan bahwa sedari tadi sang putri kerap memandang padanya. Itu sungguh adalah tatapan seorang anak yang membuat Bhakti kerap merasa susah menelan.
Bhakti melihat Vanny bangkit. Dengan telaten mengisi kembali piring Bhakti. Dan hanya Tuhan yang tau bahwa Bhakti sudah kenyang saat itu. Tapi, ia tidak ingin menolak kesempatan yang ada.
Melihat Vanny mengisi piringnya kembali membuat hati Bhakti tersentuh oleh aneka perasaan. Senang, bahagia, dan terharu. Membangkitkan kenangan indah yang dulu pernah ia alami. Bertahun-tahun yang lalu.
Ketika selesai makan malam, Bhakti melakukan satu kegiatan yang rutin ia lakukan belakangan ini. Berkeliling di seluruh ruangan. Hanya untuk melihat beragam foto yang menghiasi dinding. Tanpa dirinya.
Foto-foto itu hanya memuat Vanny dan Diah. Dan Bhakti tidak akan mempertanyakannya. Karena walau dulu mereka sempat berfoto bertiga, tapi Bhakti tau mengapa foto itu tidak turut terpajang di sana.
Tak apa. Bhakti tidak berharap lebih. Karena apa yang telah ia dapatkan hingga hari ini pun lebih dari yang berani ia harapkan.
Bisa meluluhkan dan mendapatkan maaf Vanny, itu mukjizat. Bisa tinggal bersama dengan Vanny, itu mukjizat. Dan bisa mengisi kamar yang digunakan oleh Diah dulu, itu lebih dari mukjizat.
Setiap malam ketika Bhakti masuk ke kamar itu ia merasa seperti ada Diah yang menyambutnya. Mungkin karena Vanny yang selalu merawat kamar itu dan memastikan tidak mengubah tatanannya sedikit pun hingga kesan Diah masih amat terasa. Atau mungkin bukan. Melainkan karena jauh di lubuk hati Bhakti yang terdalam, itulah yang ia harapkan.
Bhakti akan duduk di tempat tidur. Mengusap bantalnya. Dan lalu air mata itu mengalir begitu saja.
Memang. Hanya enam tahun kebersamaan itu tercipta. Tapi, semua kenangan dan cinta yang ada benar-benar terpateri di dalam jiwa.
"Maafkan aku, Diah."
Bhakti mengusap air matanya. Memejamkan mata. Dan kala itu, wajah Diah akan muncul dalam benaknya. Sama seperti dulu hingga napas terakhir yang ia embuskan. Ia selalu tersenyum. Sepenuhnya menyadari jalan yang harus suaminya pilih. Tidak ingin menghujat takdir dan berusaha untuk tetap kuat, tapi jiwanya tetap saja menahan luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...