"Mama cuma nggak mau kamu ngalamin nasib kayak Bhakti."
Panjang lebar menceritakan apa yang terjadi pada temannya itu, pada akhirnya Sekar menuntaskan semuanya dengan satu harapan.
"Kalau bukan kejadian itu terjadi di depan mata Mama, mungkin saja Mama juga kayak yang lain. Mau nyuruh kamu nikah sama cewek kayak keluarga kita."
Sekar membuang napas panjang. Karena memang itulah yang menjadi alasan valid mengapa ia tidak pernah terpikir sedikit pun untuk memaksakan kehendaknya pada Haris. Bhakti layaknya bukti nyata yang terpampang di depan mata. Ketika orang tua memaksakan kehendak dan anak tidak bisa menerimanya, maka tidak ada pihak yang bahagia.
Jadi orang tua memang sulit. Sekar tau itu. Tapi, Sekar tidak akan lupa janji apa yang pernah ia ucapkan pada Tuhan di tiap malam penantiannya dulu. Akan membesarkan, mendidik, dan membahagiakan putranya.
Sederhana saja. Sekar tau Haris tidak akan salah memilih. Dan ketika Sekar bertemu dengan Vanny, tidak ada sedikit keraguan pun yang Sekar rasakan lagi. Lantas bila pilihan sang anak memang baik, mengapa Sekar harus keberatan?
"Amit-amit, Ris. Mama nggak mau kamu kayak Bhakti," ujar Sekar geleng-geleng kepala. "Hidup segan mati tak mau. Bertahun-tahun hidup pisah sama istri dan anaknya. Tinggal sama orang yang nggak bisa buat dia bahagia. Mama nggak mau lihat kamu menderita gitu. Anak kesayangan Mama nggak boleh sedih."
Haris tersenyum. "Artinya sama siapa aja boleh, Ma?"
"Ya asal dia baik dan bisa buat kamu seneng, kenapa nggak?"
"Kalau Vanny gimana?"
Sekar mencubit ujung hidung Haris sekilas. Tampak gemas dengan senyum manja putra sematawayangnya itu.
"Kayaknya Mama cocok sama Vanny. Anaknya sopan."
Mata Sekar melirik. Jelas sekali melihat bagaimana pipi Haris tampak bersemu merah. Astaga! Haris persis seperti anak gadis yang sedang bercerita soal cinta pertamanya.
"Lagian pilihan anak Mama kan nggak perlu diragukan lagi. Sudah terbukti secara klinis di IPB dan ITB."
Haris tergelak. Lalu tersenyum malu. "Mama ini bisa aja deh."
Kekehan samar tak bisa Sekar tahan. Dan bila ia melihat ekspresi Haris kala itu, kelegaan pun menyeruak di dada Sekar. Ia menatap Haris, bertanya.
"Ehm ... ngomong-ngomong kamu udah nggak marah sama Mama lagi kan?"
Senyum malu-malu di wajah Haris menghilang. Tergantikan oleh mimik polos. Kepalanya meneleng ke satu sisi ketika balik bertanya.
"Marah? Soal apa?"
"Soal yang tadi sore," jawab Sekar. "Kan kamu ngambek gara-gara Mama tau soal Vanny."
"Oh itu ...."
Haris membuang napas panjang. Lalu ia menggeleng dengan tersenyum.
"Nggak. Aku udah nggak marah lagi. Kan nggak boleh marah lama-lama sama orang tua."
"Kamu ini," gemas Sekar.
Tidak berniat untuk menyinggungnya sama sekali, Sekar bukannya tidak tau bahwa bukan itu alasan kenapa Haris tidak lagi marah padanya. Tentu saja karena berkat dirinya Haris bisa menikmati makan malam bersama dengan Vanny. Pun dengan bonus bisa berhaha-hihi di dapur.
"Lagian kamu juga harusnya kan nggak perlu marah," lanjut Sekar tak habis pikir. "Namanya orang tua. Kan Mama juga mau tau kamu itu lagi dekat dengan siapa."
"Tapi, bukan dengan cara nanya-nanya ke Bu Astrid, Ma. Buat aku malu aja. Apa coba kata Bu Astrid kalau Mama nanya-nanya soal gituan sama dia?"
Sekar berdecak. "Buat apa sih malu sama Bu Astrid? Biasa aja kali. Lagian dia kan bukan orang lain. Dia udah kayak keluarga kita sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...