"Van, hair dryer kamu di mana ya?"
Suara Haris terdengar kembali. Heran. Tapi, Vanny jadi bertanya-tanya. Apa sebenarnya Haris memiliki towa tersembunyi? Sehingga cowok itu bisa berteriak di mana pun dengan semudah itu?
Vanny baru saja akan menikmati drama Korea tadi. Tapi, berkat teriakan Haris yang lagi-lagi menggema, ia terpaksa menjeda tayangan itu kembali. Vanny bangkit. Menuju ke kamarnya. Dan langsung meraih daun pintu, membukanya dengan kesal.
"Apaan lagi sih, Ris? Ka---"
Perkataan Vanny menggantung di udara. Begitu pula dengan langkah kakinya yang terhenti di tengah jalan. Hanya pintu yang terlepas dari tangannya yang bergerak. Secara otomatis mengikuti kehendak engsel untuk menutup dengan sendirinya.
Haris berdiri di depan meja rias Vanny. Hanya berbalutkan handuk di sekitaran pinggang. Rambutnya basah. Tetesan air berjatuhan dari tiap helainya. Memberikan jejak-jejak lembab di sepanjang kulit telanjangnya.
Haris menyadari kedatangan Vanny. Berbalik dan melihat Vanny dengan acuh tak acuh.
"Hair dryer, Van," ulang Haris. "Aku butuh hair dryer. Di mana?"
"Di ... di ...."
Vanny berusaha untuk mengingat. Tapi, sepertinya sulit. Bahkan ia sempat meragukan kalau ia tau hair dryer itu apa.
Haris mengerutkan dahi. Menghampiri Vanny, berkacak pinggang di hadapannya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain? Melambai beberapa kali di depan wajah Vanny.
"Van?"
Vanny mengerjap. "A-apa?"
Mata Haris menyipit. Lalu seringai pelan-pelan timbul di wajahnya. Ia terkekeh samar.
"Jangan bilang kalau kamu lagi terpesona sama aku, Van."
Astaga. Wajah Vanny seketika terasa panas. Haris menyugar rambutnya yang berantakan karena baru selesai keramas. Dalam ekspresi layaknya model-model kelas atas yang sedang dalam sesi pemotretan.
"Aku cakep kan?" tanya Haris dengan penuh rasa percaya diri. "Ya iyalah cakep. Nggak tau aja susahnya ritual yang dilakukan Mama dan Papa untuk dapat keturunan yang berkualitas kayak aku."
Bola mata Vanny melotot. Berusaha untuk bertahan ketika rasa malu membuat wajahnya terasa makin kaku. Sial! Tapi, tanpa bercermin sekalipun Vanny bisa menebak apa warna wajahnya saat ini. Jawabannya satu. Pasti merah.
"Nggak usah GR ya, Ris."
"Aku nggak GR, by the way. Tapi, aku itu tau diri. Lagi pake baju aja aku cakep kan?" tanya Haris dengan gerlingan mata menggodanya. "Apalagi kalau nggak pake baju. Iya kan?"
Tuntas melayangkan pertanyaan gila itu, Haris langsung tertawa terbahak-bahak. Sementara Vanny jangan ditanya lagi. Wajahnya sudah warna-warni saking malunya.
Vanny menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk tidak langsung melarikan diri dari sana. Tidak. Vanny tidak ingin tambah mempermalukan dirinya sendiri.
"K-kamu nyari apa?" tanya Vanny berusaha tenang. Mencoba untuk tidak goyah dengan ledekan Haris. Tapi, sialnya suara yang terdengar bergetar itu tidak menolongnya sama sekali. "H-hair dryer?"
Tawa Haris sedikit mereda. "Iya. Rambut aku basah. Ntar aku masuk angin."
Astaga. Vanny yakin Haris itu lebih merepotkan dari seorang anak batita.
"Bentar. Aku ambilin."
Haris mengangguk. Memberikan jalan untuk Vanny. Tapi, ketika baru tiga kali kaki Vanny melangkah, ia berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...