74. Perlahan, Tak Jadi Masalah

671 72 1
                                    

Esti keluar dari kamar mandi. Lengkap dengan piyama dan handuk kecil yang membungkus rambut basahnya. Kala itu sudah nyaris jam setengah sebelas malam dan setelah mandi Esti merasakan tubuhnya segar kembali. Tapi, ia yakin. Kesegaran itu tidak akan bertahan lagi. Dalam waktu beberapa saat, ia pasti akan tertidur.

Itu jelas bukan kali pertama Esti mendapat telepon dadakan dari Vanny. Hingga membuat ia kerap buru-buru datang ke apartemen sang sahabat tak peduli jam berapa. Bermalam di sana jelas adalah hal yang biasa Esti lakukan. Maka tidak aneh bila beberapa pakaian Esti pun tersusun rapi di dalam lemari Vanny.

"Jadi ... cewek yang pernah mau dijodohkan sama Haris dulu itu ... bisa dibilang adek kamu?"

Vanny duduk bersila di atas tempat tidur. Dengan bantal yang menutupi pangkuannya, ia mengangguk. Dan Esti duduk di dekatnya. Wajahnya tampak mengerut tak habis pikir.

"Takdir macam apa ini?"

Pertanyaan itu persis seperti pertanyaan yang berputar-putar di kepala Vanny seharian ini. Ketika Haris menyebut nama Tasya dan menyinggung soal pertemuannya dengan Bhakti, kesimpulan itu pun dengan cepat muncul di benaknya.

Vanny mengangkat kedua pundaknya. Dengan bibir mengerucut, ia menggeleng.

"Gimana bisa?"

Esti terus mengeringkan rambutnya. Mau ia berpikir dengan cara apa, tetap saja ia tak habis pikir.

"Ini jatuhnya kayak ...," lirih Esti dengan wajah ngeri. "... kakak dan adek berebut mainan?"

Perumpamaan yang tepat. Tapi, dengan catatan bahwa Haris jelas bukan sebuah mainan.

"Haris itu cowok, Es. Dia itu manusia."

Esti terkekeh samar. Vanny tampaknya tidak sepenuhnya sependapat dengan perumpamaan yang digunakan Esti.

"Iya iya iya. Haris jelas bukan mainan. Dia cowok. Orang yang udah mau melamar kamu."

Tubuh Vanny sontak merinding lagi. Demi satu kata yang Esti ucapkan, Vanny merasa bulu kuduknya meremang.

"Es," ringis Vanny. "Aku harus gimana?"

Tangan Esti turun dari kepala. Membiarkan handuk tetap di kepalanya sementara rambut ikal bewarna hitam itu menjuntai kusut membingkai wajahnya.

"Ini nih masalah gampang, Van. Kamu cinta Haris, kamu terima dia. Kamu nggak cinta Haris, kamu tolak dia. Nggak usah mikir ke mana-mana. Masih banyak yang harus dipikirin ketimbang Haris."

Vanny membuang napas panjang. Kalau ingin dipikir dengan sederhana, yang dikatakan oleh Esti memang benar. Pun dia sudah sempat memikirkan hal yang serupa. Cinta, terima. Tidak cinta, tolak. Tapi, tentunya tidak sesederhana itu.

Maka ketika Vanny sibuk dengan pikirannya sendiri dan terdiam untuk beberapa saat, Esti memutar bola matanya. Ia meraih tangan Vanny.

"Van."

Vanny mengerjap sekali. Mengangkat wajahnya yang entah sejak kapan tertunduk. Ia menatap Esti.

"Aku tau kamu takut kejadian Tante terulang lagi sama kamu. Aku nggak mau nge-judge kamu. Tapi, coba kamu lihat Haris, Van."

Esti meremas jari-jari tangan Vanny. Diam sejenak sebelum ia melanjutkan perkataannya. Dengan harapan bahwa Vanny akan menyadarkannya.

"Aku yakin Haris bakal mempertahankan kamu apa pun yang terjadi. Dan kamu sendiri tau, Van. Haris itu anak manja. Mana sanggup orang ngelawan kemauan anak manja? Apalagi kalau anak manjanya semacam Haris. Mending apa yang dia minta langsung dikasih deh. Timbang buat orang stroke berjamaah kan?"

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang