87. Masih Ada Hari Esok

807 105 16
                                    

Esti memberikan satu anggukan penuh arti pada Vanny. Ia tersenyum penuh perasaan karena memang itulah yang harus ia lakukan sebagai sahabat.

"Berapa tahun kamu benci Papa kamu? Setahun? Sepuluh tahun? Atau dua puluh tahun?" tanya Esti tanpa menunggu jawaban Vanny. "Coba kamu maafkan Papa kamu selama itu juga. Terus kamu lihat. Apa kamu masih menderita atau nggak?"

Terdengar logis. Namun, Esti pun bisa menduga bahwa itu tak semudah yang terdengar. Alhasil ia memberikan pengertian sebisa dirinya.

"Pelan-pelan saja. Kamu bukan titisan Bunda Teresa. Kita bukan malaikat atau dewa. Jadi itu manusiawi."

Vanny berpaling. "Aku sayang Papa, Es. Tapi, terkadang aku juga benci."

"Iya," angguk Esti. "Kamu terus membenci atau memaafkan, sama ada resikonya. Tapi, kalau boleh aku kasih saran. Pilihlah pilihan yang punya resiko terkecil. Bener kan?"

Vanny bisa membiarkan dirinya terus berkubang dengan rasa benci. Namun, untuk apa? Memuaskan ego demi bisa membalas sakit yang ia rasa selama ini? Agar Bhakti merasa sakit serupa di sisi hidupnya?

Atau pilihan kedua? Di mana Vanny bisa saja merasa sakit sesekali-tentu tidak semudah itu mengikhlaskan rasa sakit. Namun, setidaknya ia bisa merasakan hari-hari bersama sang ayah.

Vanny ingat rasanya. Memang singkat, tapi tak akan ia lupa. Ketika untuk yang pertama kali setelah tahun-tahun berlalu, akhirnya ia bisa merasakan kembali kehadiran ayah di tempat umum.

Persis seperti anak-ayah pada umumnya, Vanny dan Bhakti jalan bersama. Saling menggenggam. Melangkah dengan ringan layaknya mereka berjalan di setapak awan.

*

Bhakti membuang napas panjang. Arman baru saja keluar dari ruang kerjanya setelah melaporkan bahwa gugatan cerai sudah naik seperti yang ia harapkan.

Alhasil tak aneh rasanya bila siang hari itu Bhakti mendapati Widia yang terus berusaha menghubunginya. Namun, hati Bhakti sudah membatu. Ia tak hanya sekadar menolak panggilan tersebut, alih-alih langsung memblokir nomornya.

Itu adalah hari yang melelahkan. Bhakti sudah membulatkan tekadnya bahwa ia akan menceraikan Widia.

Bhakti tak peduli apa yang akan terjadi di kemudian hari. Perceraiannya dengan Widia tentu lebih dari sekadar perceraian biasa. Mungkin akan berimbas pada perusahaan, tapi ia sudah lelah.

Menginjakkan kaki di apartemen ketika hari sudah menunjukkan pukul delapan malam, Bhakti tidak berharap apa-apa. Ia hanya berdoa agar Vanny tetap pulang.

Bhakti menabahkan hati. Ia bisa mengerti sikap Vanny. Untuk itu, ia tak berharap banyak. Tak apa bila Vanny belum ingin menyapa dirinya lagi, tak apa. Asal sang putri masih pulang dan baik-baik saja, itu sudah cukup untuknya.

Masuk, Bhakti menutup pintu di belakang punggung. Ia melepas sepatu dan samar mendengar suara televisi.

Tak terkira kelegaan Bhakti. Itu adalah tanda bahwa Vanny ada.

Bhakti melangkah. Masuk dan menyiapkan diri untuk setiap sikap penolakan yang bisa saja ia dapatkan.

Suara televisi menghilang. Tepat ketika Bhakti berniat untuk berbelok dan menuju tangga. Refleks membuat langkah pria paruh baya itu berhenti.

"Papa sudah pulang?"

Tak diduga oleh Bhakti, Vanny menghampirinya. Pun lebih dari itu, satu pertanyaan bernada perhatian ia dapatkan.

Bhakti memutar tubuh. Melihat pada Vanny dan mendapati keadaan sang putri yang terlihat menyedihkan.

Wajah Vanny tampak kusam. Matanya bengkak. Juga cahaya yang biasa bersinar di sana, terlihat redup.

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang