6. Rasa-Rasa Yang Masih Terasa

1.9K 128 16
                                    

Salah satu pembelaan Haris adalah ia memastikan bahwa satu-satunya mantan pacar yang ia miliki mendapatkan pekerjaan yang terjamin. Pekerjaan yang bisa menjamin kebutuhan di tiap bulannya. Pekerjaan yang pasti jarang sekali bisa ia dapatkan dengan mudah di luar sana. Pekerjaan yang justru dengan senang hati ia berikan tanpa perlu melewati rangkaian seleksi yang susah payah.

Ehm ... Haris baik kan?

"Ya pasti dong. Yang namanya Haris itu emang baik. Karena yang jahat itu Aris, bukan Haris. Hahahahaha."

Tawa Haris berhenti ketika terdengar ketukan di pintu. Ia buru-buru mendehem dan melihat bagaimana pintu itu membuka. Ada Vanny melangkah masuk dengan membawa nampan.

"Ini kopinya, Pak."

Vanny menyajikan kopi tersebut di atas meja Haris. Cowok itu mengangguk seraya melirihkan terima kasihnya.

"Ehm ... ngomong-ngomong gimana?" tanya Haris seraya menatap Vanny. "Kamu jadi mau mundur?"

Memegang nampan dengan kedua tangannya, Vanny berusaha untuk menahan manyunnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan itu membuat Haris lanjut bicara.

"Kalau kamu sudah nyiapin uang pinaltinya ... kamu bisa mundur secepatnya."

Kali ini Vanny tidak bisa menahan manyunnya lagi ketika Haris menyinggung soal uang pinalti. Melihat itu, Haris harus dengan sekuat tenaga berjuang agar tidak mendadak tergelak terbahak-bahak.

"Pak ...."

Pada akhirnya suara Vanny terdengar pula. Dengan irama putus asa yang membuat Haris bertanya.

"Ya?"

"Uang pinaltinya nggak bisa diubah ya? Masa satu milyar sih?"

Karena mau bagaimana Vanny memikirkannya, ia benar-benar tak habis pikir. Kok bisa ada uang pinalti sebesar itu? Ia bukannya orang hebat dengan pekerjaan fantastis sehingga kontraknya seberharga itu. Ia hanya cewek biasa dan pekerjaannya hanyalah sekretaris kedua.

"Bagaimana mungkin bisa uang pinaltinya diubah? Itu kan sudah tertulis hitam di atas putih."

Vanny menggigit bibir bawahnya sekilas. "K-kalau buat kontrak ulang gimana? Uang pinaltinya diganti dan ditandatangani ulang."

"Sembarangan!"

Vanny ciut seketika. Memang tidak masuk akal sih. Tapi, mau bagaimana lagi? Itu satu-satunya ide yang melintas di benaknya.

"Sudahlah, Van," ujar Haris kemudian. "Ketimbang kamu musingin soal kontrak dan uang pinaltinya, mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu. Kan beres."

Mana mungkin beres? Yang ada malah makin kacau.

"Lagipula kenapa sih kamu mau mundur dari kerjaan ini?"

Mata Vanny mengerjap. Pertanyaan yang satu ini membuat ia spontan melihat pada Haris kembali. Cowok itu menatapnya.

"Apa kamu dapat kerjaan yang lain?" tanya Haris lagi. "Atau gaji di sini kurang?"

Haris meragukan kemungkinan yang kedua itu. Karena pada dasarnya dulu Vanny melamar menjadi staf admin. Secara logika gaji yang bisa didapatkan Vanny sekarang jauh tinggi di atas gaji posisi tersebut.

Sial. Jangan bilang kalau omongan Bu Astrid memang benar.

"Ehm ... kamu mau mundur ..."

Berat untuk mengatakannya, tapi Haris memberanikan diri untuk tetap bertanya.

"... bukan karena aku kan?"

Namun, mata yang refleks membesar itu membuat Haris dengan cepat bisa mendapatkan jawabannya. Ia mendengkus.

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang