33. Tidak Seperti Yang Dibayangkan

809 76 11
                                    

Ketika mobil yang membawa Arif sudah berhenti di depan pelataran rumah, Sekar yang memang punya kebiasaan menunggu kepulangan sang suami langsung saja menyambutnya. Mengambil alih tas kerja Arif dan mengikuti langkah kakinya menuju ke kamar.

Sekar menutup pintu. Saat itu hari sudah menginjak jam enam sore. Tinggal menyisakan satu jam sebelum tiba waktu makan malam. Ia bergegas menyediakan baju santai untuk Arif.

"Papa mandi dulu gih."

Mengatakan hal itu Sekar pun turut melepaskan jas dari tubuh Arif. Pria itu mengangguk. Mandi jelas adalah hal yang paling ia butuhkan saat ini untuk menyegarkan kembali tubuh dan pikirannya.

Melihat sang suami yang sudah menghilang di kamar mandi, sebenarnya ada sesuatu yang memenuhi benak Sekar kala itu. Apalagi kalau bukan soal Tasya dan Haris? Ehm ... kalau tidak melihat keadaan sang suami yang terlihat letih, rasanya ingin sekali Sekar langsung bertanya pada Arif.

Udah deh. Tunggu ntar aja. Kasihan Papa masih capek.

Sekar sebisa mungkin berusaha untuk bersabar. Hingga pada akhirnya menjelang tidur ia pun mendapatkan kesempatan tersebut.

"Jadi ..."

Baru saja Arif membaringkan tubuh di kasur. Menyusul sang istri untuk berbaring di balik selimut. Dan pertanyaan itu langsung menyapa dirinya.

"... gimana soal Haris dan Tasya tadi, Pa?"

Arif menoleh. Ternyata alih-alih merebahkan kepalanya di atas bantal, Sekar terlihat menopang wajahnya dengan satu siku. Melihat padanya dengan mata yang penuh dengan rasa ingin tau.

"Sudah Papa omongin sama Bhakti?"

Membuang napas panjang, Arif berpaling pada sang istri. Seraya berusaha mencari posisi yang nyaman di atas bantalnya, ia mengangguk.

"Udah Papa bicarakan sama Bhakti tadi."

Bola mata Sekar membesar. "Terus gimana tanggapan dia? Dia nerima keputusan kita kan?"

"Iya, Ma. Tenang aja," jawab Arif sambil mengangguk. "Bhakti nerima keputusan kita."

Tidak terlukiskan lagi kelegaan yang terpancar di wajah Sekar kala itu. Ia mengembuskan napas lega seraya mengusap dadanya.

"Syukurlah kalau gitu. Mama lega dengarnya."

Arif mengangguk. Memang di satu sisi ia pun merasakan kelegaan yang sama dengan yang dirasakan oleh sang istri, tapi bukan berarti rasa tak enak tidak menggelayuti perasaannya. Hal tersebut terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Sesuatu yang tidak lepas dari sepasang mata Sekar.

"Papa nggak usah ngerasa nggak enak."

Perkataan Sekar membuat Arif kembali melirik pada sang istri. Berbeda dengan dirinya yang memang merasa tidak enak pada Bhakti, Sekar justru terlihat santai saja.

"Itu karena Mama nggak bertemu dengan Bhakti," ujar Arif. "Lagipula kami itu sering bertemu karena urusan kerjaan. Jadi sedikit banyak Papa memang merasa nggak enak."

"Nggak apa-apa. Nggak usah terlalu dipikirkan."

Sekar mengatakannya dengan begitu enteng karena jelas bukan ia yang berada di posisi tersebut. Harus bertemu dengan Bhakti di beberapa kesempatan lantaran pekerjaan. Arif berani bertaruh bahwa untuk beberapa saat ia akan canggung.

"Gimana bisa Papa nggak memikirkannya? Apalagi Mama tau sendiri Papa dan dia sudah berteman lama."

Sekar menepuk-nepuk dada sang suami dengan pelan. Berusaha menenangkannya.

"Iya, Pa, iya. Mama tau kok. Tapi, Mama jamin. Semuanya bakal baik-baik saja. Karena bagaimanapun juga keinginan Haris itu yang utama. Kita nggak bisa maksa dia. Daripada Haris nanti nggak bahagia dengan pernikahannya kan?"

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang