"Kamu lihat kan, Ris? Gara-gara kita satu keluarga jadi bertengkar."
Masuk ke rumahnya seraya menggerutu, Arif langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang keluarga. Buru-buru ia melonggarkan dasi yang melingkari lehernya. Lantas ia mengeluarkan buah kancing dari lubangnya di sana. Dan akhirnya Arif bisa bernapas dengan tenang.
"Bukan gara-gara kita keluarga Om Bhakti jadi bertengkar, Pa," ujar Haris turut duduk pula. "Kalau mereka nggak buat masalah berapa tahun yang lalu, mereka nggak bakal bertengkar. Dan yang pastinya aku juga nggak bakalan susah kayak gini."
Arif membuka mulut. Ingin mendebat hal itu, tapi Sekar buru-buru turut bicara.
"Yang dibilang Haris memang benar sih. Ini nih yang dibilang kesalahan orang tua, eh yang kena hukum malah anaknya."
Sekar yang duduk di sebelah Haris, meraih tangan sang putra. Wajahnya terlihat penuh simpatik. Seolah merasakan betul penderitaan Haris kala itu.
"Kamu yang sabar ya, Sayang. Mama percaya semua bakal terlewati. Tenang. Kamu punya Mama yang akan mendoakan kamu 25 jam sehari. Dan Tuhan itu paling nggak tega kalau dengar doa seorang ibu."
Haris mengangguk. Bibirnya manyun dengan sikap manja. "Makasih ya, Ma. Kalau nggak ada Mama, aku yakin aku nggak bakal ada di dunia ini."
Geleng-geleng kepala, Arif hanya bisa membuang napas panjang melihat kelakuan ibu dan anak itu. Tapi, tak urung juga gerutuannya meluncur.
"Ckckck. Kayaknya hanya di rumah ini yang seharinya itu ada 25 jam."
Sekar melirik Arif. "Itu keistimewaan jadi ibu. Semuanya dapat bonus."
"Tapi, ingat. Kalau aku nggak ada, Haris juga nggak ada."
Yang dikatakan oleh Arif memang benar. Mau tak mau membuat Sekar dan Haris angguk-angguk kepala pula dengan kompak.
"Bener juga apa yang Papa bilang, Ris."
Namun, tentu saja hal tersebut tidak mampu mengalihkan Haris dari prioritasnya. Karena sejurus kemudian ia kembali melihat pada sang ayah. Bertanya.
"Jadi kira-kira kapan kita bisa melamar Vanny beneran, Pa?"
Baru saja beberapa menit Arif bisa menarik napas dengan lapang, eh Haris kembali melayangkan pertanyaan itu. Membuat Arif menahan diri hingga senyum menyeramkan itu terbit di wajahnya.
"Kamu nggak bisa sabar sebentar, Ris?"
Haris menggeleng. "Nggak, Pa. Kalau bisa cepat, kenapa harus lambat kan? Lagipula memangnya Papa nggak iri sama tetangga? Pagi-pagi mereka sudah jalan sehat sama cucu loh. Ih, Papa kalah sama tetangga."
Sepertinya kesabaran Arif benar-benar sudah habis kali ini. Menarik napas dalam-dalam pun rasanya percuma untuk bisa menahan diri.
"Haris."
Ada yang berbeda dari cara Arif menyebut nama sang putra. Hingga membuat Haris sontak meneguk ludah. Refleks Haris mengedikkan tubuh. Punggungnya yang tadi sempat membungkuk samar, seketika menegap kembali. Melihat lurus pada ayahnya.
"Papa."
Arif melepas jasnya. Dengan cepat mengeluarkan kancing di pergelangan tangannya. Tapi, sebelum ia sempat melipat asal lengan kemeja itu di siku, Sekar menghampirinya.
Sekar yang sudah hidup berpuluh tahun dengan Arif tentu sudah tau sifat suaminya itu. Tanda ketika Arif mulai kehilangan kesabarannya pun sudah hapal di luar kepala. Dan sekarang Sekar buru-buru bertindak saat tanda-tanda itu mulai tampak.
"Papa Sayang."
Pergerakan Arif terhenti. Ia menoleh pada istrinya dengan mata tajam. Tapi, Sekar santai saja dengan tersenyum dan mengelus dada Arif sementara Haris bergeming.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...