Hari sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu yang seharusnya menampilkan Haris berbaring di tempat tidur dengan mata yang terpejam. Namun, nyatanya cowok itu masih terjaga walau ia sudah menguap sedari tadi.
Ada dua benda di tangan Haris. Ponsel di sebelah kiri sementara cincin berlian di sebelah kanan. Bukti valid yang menjurus pada Vanny sebagai penyebab mengapa Haris belum juga tidur hingga sekarang.
Haris mengirimkan pesan pada Vanny. Sejak sejam yang lewat, tapi hingga sekarang belum mendapatkan balasan.
"Dia lagi ngapain? Kenapa chat aku dari tadi belum dibalas? Apa dia nggak tau kalau aku khawatir?"
Tak ada satu jawaban yang Haris dapatkan untuk tiga pertanyaan itu. Membuat ia membuang napas panjang dan tatapannya beralih pada cincin berlian.
"Kalau menuruti hawa nafsu ..."
Haris mengerjap. Menyentak kepala sekali.
"... eh maksudnya dorongan kasih sayang ini," ralat Haris seraya mendeham sekilas. "Rasanya mau buru-buru nikahi Vanny, tapi kayaknya memang nggak mungkin."
Sungguh rasanya benar-benar membuat dada sesak. Sepanjang hidup, Haris tidak pernah mengenal istilah bersabar demi keinginan. Apa yang ia mau harus ia dapatkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dan sekarang?
Haris merosot. Yang sedari dari duduk bersandar pada kepala tempat tidur, pelan-pelan merebahkan tubuh.
"Udahlah. Jangan dipikirin dulu. Kasihan Vanny."
Menyisihkan keinginan melamar dalam waktu cepat dari benaknya, Haris teringat akan keadaan Vanny pagi tadi. Ia merasa sedih.
"Papa mertua ini benar-benar deh ya. Anak sendiri juga dibuat nangis terus. Coba lihat aku? Nggak pernah kan buat Vanny sedih?"
Ujung-ujungnya, pikiran Haris kembali lagi ke Vanny. Sekarang malah lebih parah. Ia menyisihkan kotak cincin dan menarik guling, bertanya pada dirinya sendiri.
"Apa itu artinya aku malah harus nikahi Vanny cepat-cepat ya? Biar dia bisa bahagia tiap hari."
Mungkin Haris benar-benar akan mempertimbangkan hal tersebut. Namun, setidaknya nanti. Tunggu Vanny masuk kerja lagi. Lantaran cuti setengah hari yang ia ajukan tempo hari ternyata berlanjut menjadi cuti tiga hari selanjutnya.
Haris yang mendapati kenyataan itu hanya bisa membuang napas panjang. Sekarang bukan hanya perkara cincin lamaran dan kapan ia akan melamar, alih-alih ia pun tersiksa dengan perasaan rindu.
"Bisa-bisanya dia cuti dan nggak balas pesan aku sama sekali?" tanya Haris histeris dengan frustrasi menatap ponsel. "Dia nggak rindu aku apa?"
Jawabannya, mungkin rindu. Hanya saja keadaan Vanny pun kurang bagus. Setelah semua peristiwa menguras emosi yang terjadi belakangan ini, kesehatannya sedikit menurun. Tidak parah dan menurut dokter hanya kelelahan. Dan untuk itu Vanny memutuskan beristirahat sejenak. Terlebih lagi ia ingat bahwa jadwal Haris minggu itu lumayan longgar.
Tak hanya sekadar beristirahat, Vanny pun memanfaatkan waktu untuk lebih dekat pada Bhakti. Lantaran sang ayah pun memutuskan hal serupa.
Bhakti mengosongkan jadwalnya. Bekerja di apartemen ketimbang benar-benar ke kantor. Untuk itu, Arman pun sesekali datang ke sana. Demi membicarakan soal pekerjaan, pun tentang perceraian.
Vanny berniat untuk mengantar minum untuk Bhakti. Tatkala ia membuka pintu dan mendengar percakapan itu.
"Aku tidak mau tau, Man. Yang pasti aku tetap ingin bercerai. Lebih cepat maka itu lebih baik," ujar Bhakti seraya membuang napas panjang. Ia menyandarkan punggung ke kursi, lalu tatapannya tak sengaja melihat ke pintu. "Vanny?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...