67. Kisah Haris Di Hari Sabtu

784 85 16
                                    

Aneh bin ajaib. Tapi, itu memang benar-benar terjadi. Bagaimana bisa rasa mulas itu benar-benar hilang tanpa ada sisa?

"Sepertinya Bapak tidak kena diare. Ehm ... apa masih mulas?"

Haris yang sudah putus asa kala itu dengan cepat memutuskan pergi ke rumah sakit. Ingin secepatnya mengenyahkan rasa mulas yang membuat perutnya meronta-ronta. Tapi, anehnya Haris tidak merasa mulas lagi.

Sebenarnya keanehan itu sudah Haris rasakan ketika mobilnya keluar dari area perkantoran PT Panca Pilar Indonesia. Rasa mulas itu berangsur menghilang. Tapi, tetap saja. Lagi-lagi Haris tidak akan terkecoh dengan tipu daya diare.

Haris tetap ke rumah sakit. Dengan segera disambut oleh dokter Tari. Tapi, ternyata keanehan itu masih berlanjut.

"Aneh," ujar Haris seraya mengusap perutnya. Ia menggeleng dengan ekspresi polos. "Sudah nggak sakit lagi, Dok."

Tari tersenyum lembut. "Sepertinya Bapak sedang stres akhir-akhir ini. Terkadang penyakit seperti diare dan magh muncul bukan karena fisik yang terganggu. Alih-alih karena psikis."

"Ah."

"Coba Bapak pikir. Mungkin belakangan ini ada masalah kantor yang membuat Bapak stres."

Haris mengerutkan dahi. Tapi, ia yakin bahwa bukan masalah kantor yang membuat dirinya stres. Karena walau Haris manja begini, lembur dan mondar-mandir tidak pernah membuat ia tertekan.

Namun, bola lampu mendadak berpijar di benak Haris. Ia meneguk ludah ketika satu wajah muncul di kepalanya. Dan Tari bisa melihat dengan jelas perbedaan pada ekspresinya.

Bhakti.

Sial. Tapi, hanya dengan mengingat nama dan wajah pria paruh baya itu saja sudah berhasil membuat jantung Haris mendadak berdebar-debar lagi.

"Ehm ... sepertinya penyebab rasa mulas ini sudah diketahui ya, Pak?"

Kaku, tapi Haris tetap mengangguk pula. "S-sepertinya begitu, Dok."

Meninggalkan kawasan rumah sakit beberapa saat kemudian, Haris tak henti-hentinya memikirkan soal Bhakti di sepanjang perjalanan kembali ke kantor. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada perutnya seandainya perjodohan antara dirinya dan Tasya tetap berlanjut.

"Ya ampun. Baru ngobrol sebentar saja sudah buat perut aku mulas. Apalagi kalau Om Bhakti beneran jadi mertua aku?"

Haris memejamkan matanya. Karena kalau Bhakti benar-benar menjadi mertuanya, Haris yakin akan sering berbincang-bincang dengannya. Dan apa kabar perutnya? Bisa-bisa mulas yang ia rasakan lebih sakit ketimbang yang ia rasakan tadi.

Namun, Haris bisa bernapas dengan lega saat ini. Ketika kakinya kembali menginjak lantai kantornya, beban di pundaknya serasa menghilang seketika.

Cowok mah gini! Gentle! Nggak suka anaknya, ngomong langsung sama bapaknya. Ck. Lari? Apaan sih Bu Astrid ngomong aku lari dari masalah? Aku dong. Menghadapi masalah. Menyelesaikan masalah tanpa masalah. Hahahaha.

Wajah semringah Haris membuat silau Vanny dan Astrid. Kedua sekretaris berbeda zaman itu kompak mengerutkan dahi. Saling pandang sejenak dan melihat kembali pada Haris yang tersenyum lebar.

"Vanny."

Haris menghentikan sejenak langkah kakinya. Memanggil nama cewek itu dan Vanny sontak berdiri dari duduknya.

"Iya, Pak?"

"Buatkan saya teh. Tapi, gulanya dikit saja," ujar Haris sambil memberikan gestur dengan ibu jari dan telunjuknya. Menampilkan isyarat ukuran yang kecil seraya tersenyum. "Soalnya kamu sudah manis."

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang