55. Tidak Ada Dalam Skenario

665 69 3
                                    

Di mana Maluku? Di Indonesia. Bukan di Vanny.

Ya Tuhan. Vanny rasanya ingin menenggelamkan diri di dasar Samudera Pasifik saking malunya.

"Astaga, Van. Jadi kamu mikir Sabtu depan itu aku ngajak kamu pergi ke butik? Buat ngukur badan? Iya?"

"H-Haris, kamu ...."

Wajah Vanny tidak bisa lebih kelam lagi dari itu. Benar-benar merah pekat hingga melebihi warna tomat yang matang sempurna. Kedua tangannya mengepal di depan dada. Bibir mengerucut. Sempat terbersit di benaknya untuk membalas atau membela diri dari ledekan Haris. Tapi, bagaimana caranya? Vanny benar-benar dipermalukan secara telak.

Maka Vanny tidak menemui hal yang paling masuk akal selain menggeram dan langsung memutar tubuh. Tidak peduli apa pun lagi, ia segera berlari keluar dari ruangan Haris. Meninggalkan Haris yang tentu saja tertawa terbahak-bahak.

"Hahahahaha. Yang katanya nggak mau nikah sama aku, tapi malah mikir aku udah mau ngajak dia ngukur. Hahahaha."

*

"Aku nggak mau ketemu Haris dulu ya, Tuhan. Bisa nggak sih aku mendadak sakit? Tolong, Tuhan. Kasih aku alasan apa pun biar aku nggak ketemu dia."

Saat itu Vanny sudah pulang dari kantor. Sekarang sudah berada di apartemen. Tapi, walau sudah berjam-jam berlalu dari kejadian memalukan itu, nyatanya rasa malu Vanny masih menyengat hingga ke ubun-ubun.

Vanny meremas bantal. Memukulnya berulang kali. Terus meringis.

"Vanny, kamu benar-benar memalukan! Aaargh! Lihat gimana Haris tadi ngeliatin kamu?"

Jeritan Vanny menggema di kamar. Dan beruntungnya apartemen tempat Vanny tinggal adalah hunian elite. Jadi adegan tetangga yang marah-marah karena merasa terganggu tidak akan terjadi.

"Haris ngetawain kamu, Van. Ya ampun. Aku nggak ada muka lagi buat ketemu Haris."

Seandainya saja Vanny ada uang sebesar satu milyar rupiah, bisa dipastikan ia akan segera mengundurkan diri dari posisi sekretaris keduanya. Tapi, tentu saja dengan alasan yang berbeda dengan alasan beberapa bulan yang lalu. Bukan karena tidak mau bekerja dengan mantan pacar. Tapi, karena tidak kuat menanggung malu.

Denting ponsel menarik perhatian Vanny sejurus kemudian. Masih dengan sisa-sisa ringisan, ia meraih ponsel dan mendapati ada pesan dari Sekar.

[ Tante Sekar ]

[ Van, Mama hari ini nggak datang. ]

[ Sedang ada urusan di luar. ]

[ Oh iya, Sabtu kamu ada acara nggak? ]

[ Temenin Mama arisan ya. ]

[ Mama jemput jam sembilan pagi. ]

[ Sampai jumpa akhir pekan. ]

Vanny melongo. Bagaimana bisa ia bertemu ibu dan anak yang sifatnya sama persis seperti ini? Istilah keluar dari cetakan yang sama tidak akan berlebihan untuk disematkan pada Haris dan Sekar.

"Untuk apa nanya aku Sabtu ada acara atau nggak kalau ujung-ujungnya langsung ngomong mau jemput?"

Ya Tuhan. Ringisan Vanny kembali meledak. Ia terkulai jatuh dan mendaratkan tubuhnya di atas kasur.

"Sabtu besok aku jalan sama mamanya. Sabtu depan aku jalan sama anaknya. Ya ampun. Nasib kok ngenes amat."

Ingin rasanya Vanny menolak ajakan Sekar, tapi bagaimana caranya? Lihat saja Sekar yang sudah memberikan pemaksaan itu secara tidak langsung Vanny. Membuat Vanny serba salah dan tak ada pilihan lain selain membalas pesan Sekar seperti ini.

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang