27. Ujung-Ujungnya Ya Pasti Itu

1.2K 88 2
                                    

Vanny meneguk ludah. Berusaha untuk mengabaikan walau itu adalah sesuatu yang sulit. Nyatanya datang ke rumah Haris memang adalah hal yang amat sulit untuk ia lakukan.

Bukan. Bukan hanya datang ke rumah Haris yang sulit untuk Vanny. Pun bukan hanya meladeni Haris yang juga sulit untuknya. Alih-alih karena ia tidak mengira sebelumnya bahwa orang tua Haris pun akan menyulitkan dirinya pula.

Itu adalah Sekar yang ketika kedatangan Vanny sudah memberikan tatapan menyelidik penuh arti. Ia menatap Vanny layaknya cewek itu adalah sesuatu yang asing dan perlu untuk dicermati dengan amat saksama. Dari atas hingga ke bawah dan kembali lagi ke atas. Berulang kali hingga Vanny merasa tidak nyaman karenanya.

"Vanny!"

Suara Haris yang menggelegar membuat Vanny dan Sekar sontak melihat ke sumber suara. Pada Haris yang melambaikan tangannya dengan senyum lebar dari lantai atas sana. Sesuatu yang membuat Vanny sempat mengembuskan napas lega. Karena berkat hal tersebut perhatian Sekar pada dirinya teralihkan. Tapi, astaga! Mata Vanny melotot melihat Haris yang melambaikan tangan padanya dirinya.

Nggak kayak gini juga kali, Ris!

*

"Mama nggak tau kalau kamu ada sekretaris kedua, Ris."

Ternyata ketidaknyamanan yang Vanny rasakan tatkala baru datang ke rumah Haris tadi masih berlangsung. Kali ini adalah ketika Vanny sudah berada di kamar Haris. Ia duduk bersama dengan Haris di kursi yang tersedia di sana. Yang terbuat dari kayu jati berkelas dan berpelitur mahal.

Haris yang menyandarkan punggungnya tampak memijat kepalanya. Sebenarnya ia merasa pusing, kepalanya amat berat. Tapi, ketika ia tau ada Vanny yang datang ke rumah maka ia pun memaksakan diri.

"Iya, Ma," ujar Haris seraya memejamkan matanya sejenak. "Baru dua bulanan ini kok. Itu juga gara-gara Bu Astrid udah nggak bisa kayak dulu lagi. Kakinya sering nyeri."

Tak ada komentar Sekar untuk penjelasan Haris. Ia hanya manggut-manggut dan lantas beralih melihat pada Vanny lagi. Cewek itu tersenyum dengan sopan. Sekar membuang napas sekali melihat beberapa berkas yang sudah memenuhi meja.

"Tapi, kalaupun kamu mau kerja sekarang, seenggaknya kamu makan dulu, Ris. Kamu harus minum obat juga."

Perlahan mata Haris membuka. Bibirnya sedikit manyun.

"Ntar aja, Ma. Aku lagi nggak lapar. Ini aku mau ngecek berkas yang penting dulu."

Tentu saja Sekar tidak menerima alasan itu. Ia menggeleng. Sedikit menggeser kurisnya, ia meraih tangan sang putra. Rasa panas tubuh Haris membuat Sekar begitu khawatir.

"Kamu belum makan loh dari tadi. Gimana mau minum obat? Kalau nggak minum obat, ntar kamu nggak sembuh-sembuh loh, Ris. Kamu mau buat Mama khawatir?"

Haris masih manyun. Kali ini ia menggeleng berulang kali dengan manja. Entah sadar atau tidak, ia pun merengek.

"Nggak mau, Ma. Aku lagi nggak nafsu makan. Ntar aja aku makannya."

"Ya Tuhan," desis Sekar. Sebenarnya ia tidak heran mendapati sikap Haris seperti itu. Toh memang Haris memang cenderung tidak nafsu makan kalau sedang sakit. "Makan dikit aja ya, Ris? Biar Mama suruh Mbak Rani buatin makanan kesukaan kamu. Atau mau Mama ceplokin telor? Biar kamu makan dulu. Terus minum obat."

Haris masih menggeleng. "Nggak mau, Ma. Aku nggak nafsu makan."

"Dikit aja loh, Ris. Biar kamu ada tenaga buat kerja. Ya?"

"Males, Ma. Ntar kalau dipaksa ... aku bisa muntah."

"Ya jangan dimuntahin dong, Ris. Makannya juga dikit aja. Nggak usah banyak-banyak. Yang penting kamu bisa minum obat deh."

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang