Hari sudah menginjak jam sembilan malam. Kala itu Haris sudah berbaring di tempat tidurnya. Merebahkan tubuh di kasur yang empuk dengan selimut tebal yang menyelimutinya hingga ke dada. Sekar memastikan sang putra tidak akan kedinginan malam itu. Pun memastikan bahwa putranya tidur cepat.
"Makan udah. Minum obat udah. Sekarang waktunya kamu untuk tidur."
Kedua tangan Haris mendarat di atas dada. Ia mengangguk patuh. "Iya, Ma. Tenang aja. Aku bakal tidur cepat."
"Harus," delik Sekar sekilas memberikan peringatan. "Kan besok kamu mau kerja lagi."
Haris tersenyum lebar. "Iya, Ma. Besok Vanny juga mau datang cepet ke rumah. Jadi mau nggak mau aku harus tidur cepat biar bangunnya nggak kesiangan."
Memang itulah alasan mengapa Sekar menyuruh Vanny datang jam setengah tujuh pagi. Agar Haris tidur dengan cepat dan bangun cepat pula. Tapi, dari dua hal itu ada yang paling penting. Yaitu Haris bisa sarapan tepat waktu. Dan kalau Haris sarapan tepat waktu maka ia pun bisa minum obat tepat waktu pula. Sejujurnya Sekar hanya ingin melihat anaknya sehat. Tak peduli apa pun caranya. Sungguh hati Sekar rasanya sakit melihat Haris yang sakit tampak pucat dan tidak bertenaga.
"Anak pinter," ujar Sekar. Sekilas ia mencium dahi Haris. "Sekarang kamu tidur."
Anggukan Haris membuat Sekar bangkit. Ia beranjak memadamkan lampu utama di sana dan barulah ia keluar setelah memastikan bahwa Haris benar-benar memejamkan mata.
Meninggalkan kamar Haris, Sekar memilih untuk menemui sang suami di ruang kerjanya. Arif yang melihat kedatangan Sekar membuang napas panjang. Waktu yang tepat. Karena ia pun ingin membicarakan sesuatu dengan snag istri.
"Namanya Vanny. Baru dua bulan ini jadi sekretaris kedua Haris."
Begitulah penjelasan singkat yang Sekar berikan pada sang suami. Terpisahkan satu meja kerja yang besar itu, Sekar bisa melihat kerutan di dahi Arif.
"Berarti ... waktu Haris ke Bengkulu," ujar Arif dengan nada tak yakin di suaranya. "Itu dia pergi dengan Vanny? Bukan dengan Bu Astrid?"
Sekar menggeleng. "Bukan."
"Ehm ...."
Deheman itu membuat Sekar mengerutkan dahi. Matanya tak lepas dari Arif. Memindai ekspresi sang suami. Bertanya-tanya reaksi Arif untuk tindakan Haris yang satu ini.
"Haris nggak ada bahas soal ini sama Papa. Kenapa dia mendadak nyari sekretaris kedua?"
"Kesehatan Bu Astrid, Pa, kesehatan Bu Astrid."
"Aaah!"
Arif manggut-manggut. Dengan cepat otaknya bisa menerka pertimbangan Haris.
"Bu Astrid kan udah nggak se-fit yang dulu gara-gara kecelakaan waktu itu. Jadi Mama pikir wajar kalau Haris mendadak nyari sekretaris kedua."
"Saking mendadaknya ... Haris sampai nggak diskusi dengan Papa soal ini."
Wajah Sekar tampak berubah. Sedikit cemberut. "Papa ini. Haris itu udah besar. Dia sudah dewasa. Masa nyari sekretaris aja harus diskusi sama Papa dulu?"
"Bukan gitu maksud Papa, Ma," ujar Arif seraya membuang napas panjang. "Haris kan selama ini belum pernah nyari sekretaris sendiri. Papa cuma khawatir dia keliru. Sekretaris itu posisi penting. Harus pintar dan cekatan. Banyak kriteria yang harus diperhatikan sama Haris. Toh kalau Vanny jadi sekretaris kedua ... itu artinya suatu saat nanti dia bakal jadi sekretaris utama."
Maksud Arif tentu saja baik. Sekretaris itu memiliki peranan yang amat penting. Tidak hanya pintar dan cekatan, tapi juga harus berpenampilan menarik. Bisa menjadi wajah kedua untuk bosnya. Maka wajar saja bisa sangat sulit untuk bisa mendapatkan posisi tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"
RomanceMendapat pekerjaan sekaligus bertemu mantan pacar? O oh! Vanny tidak pernah berharap hal itu terjadi dalam skenario hidupnya. Bagi Vanny mantan pacar adalah spesies yang seharusnya punah dari peradaban manusia. Sementara bagi Haris lain lagi. Menuru...