32. Namanya Kan Harapan, Bukan Kenyataan

813 78 10
                                    

"Ngomong-ngomong ..."

Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Vanny menyadari bahwa ia tidak bisa menahan rasa penasarannya. Berusaha mengenyahkannya dan fokus pada pekerjaan pun rasanya percuma. Ia tidak bisa berkonsentrasi.

"... tadi kamu dan Papa kamu ngomongin apa, Ris?"

Haris kala itu sedang membaca email mengenai perkembangan pembangunan resort di Bengkulu. Dengan serius hingga ia tampak tersentak sekilas ketika Vanny bertanya padanya.

Memindahkan fokus matanya pada Vanny, Haris tampak mengerjap sekali. "Ya? Kamu nanya apa?"

Vanny tidak heran sama sekali. Haris memang begitu. Ketika ia sedang serius maka ia cenderung tidak lagi peduli dengan sekitar. Tapi, tak jadi masalah. Vanny tidak keberatan sama sekali untuk mengulangi pertanyaannya.

"Itu ... kamu dan Papa kamu tadi ngomongin apa?"

Haris mengerjap kembali. "Ehm."

Hanya deheman yang Vanny dapatkan. Itu jelas bukan yang ia harapkan.

"Kenapa?" tanya Haris kemudian. "Kamu mau tau?"

Oh, tentu saja bukan tanpa alasan. Karena berkat pertanyaan Arif padanya saat sarapan tadi maka Vanny pun memiliki kecenderungan bahwa dirinyalah yang menjadi topik pembicaraan ayah dan anak itu.

"Ya ... mau tau aja," jawab Vanny sekenanya. "Emang nggak boleh ya?"

Decakan samar terdengar dari mulut Haris. Ia tampak manggut-manggut beberapa kali.

"Boleh boleh aja sih. Cuma ya ... agak aneh aja sebenarnya."

"Aneh apaa?"

"Soalnya seumur-umur baru kali ini aku lihat ada sekretaris yang nyebut Papa aku itu dengan panggilan Papa," ujar Haris geli dengan perubahan ekspresi wajah Vanny. "Selama ini sih manggilnya Pak Arif."

Astaga! Yang dikatakan oleh Haris memang benar. Wajah Vanny seketika memerah.

"I-iya. Maksud aku ... Pak Arif."

Haris tertawa. "Tapi, setelah aku pikir-pikir ya wajar aja kalau kamu nggak manggil Pak Arif. Namanya aja sama calon mertua kan?"

Wajah Vanny makin memerah dan Haris makin tertawa.

"Jadi ... timbang kamu manggil Pak Arif dan Bu Sekar, memang lebih bagus banget kamu manggil Papa dan Mama. Ehm ... dibiasain dari sekarang ya, Van?"

Ya ampun. Sekarang bukan merah lagi warna wajah Vanny. Kelam dan pekat. Sungguh, Vanny merasa amat malu.

"Ris."

"Hahahaha. Sorry sorry," ujar Haris seraya mengusap basah di matanya. "Ehm ... sebenarnya yang Papa omongin tadi nggak penting sih."

Penting atau tidak, bukan itu yang ingin Vanny ketahui.

"Ngomongin soal aku?"

Pertanyaan susulan yang Vanny lontarkan membuat Haris paham. Dan ia menggeleng.

"Tenang, bukan ngomongin soal kamu kok."

Namun, entah mengapa Vanny merasa ragu. Itu terlihat jelas dari cara Vanny menatap Haris. Cowok itu mengangkat kedua bahunya sekilas acuh tak acuh.

"Kalau kamu nggak percaya ya udah sih. Aku nggak maksa kamu buat percaya."

Sikap Haris meyakinkan Vanny. Tapi, sebenarnya bukan itu yang ia harapkan. Maka ketika ia membuang napas panjang, Haris pun menyadarinya.

"Kenapa?" tanya Haris. "Kayaknya kamu ngarep jadi topik aku dan Papa pagi ini ya?"

Vanny tidak menampik. Alih-alih ia mengangguk. "Soalnya aku sempat mikir Papa kamu nggak bakal setuju dengan aku yang megang posisi sebagai sekretaris kedua kamu."

The Ex Who Trapped Me 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang