BAB 2. Kata yang Belum Terucap

83 7 0
                                    

Hari-hari Winona berubah drastis. Tidak ada lagi yang membangunkannya untuk berangkat sekolah. Tidak ada lagi yang memberi apresiasi pada semua sketsa yang awalnya begitu kacau. Kuanta adalah orang pertama yang percaya pada kemampuan Winona. Orang pertama dan karakter pertama dalam komik yang Winona buat saat duduk di bangku SMP.

Dia merobek lagi hasil karyanya, menggulung dan melemparnya asal agar bergabung dengan beberapa gulungan yang lain.

Dia meletakkan kepalanya di atas Meja. Rasa pusing mulai menghampirinya.

"Anta, kenapa dunia sangat tidak adil?" gumamnya, membayangkan ada Kuanta di hadapannya, mendengar semua keluh kesahnya.

"Kenapa semesta mengambil lo begitu cepat? Kenapa orang sebaik dan setulus lo harus berakhir dengan cara tragis?"

Dia mulai terisak. Kuanta ditemukan sudah tidak bernyawa di rooftop. Diperkirakan meninggal sekitar belasan jam dari saat dia ditemukan. Kehabisan banyak darah adalah penyebab kematiannya. Wajah Kuanta penuh lebam dan seragam pria itu penuh dengan noda darah.

"Kenapa mereka sangat kejam, Anta? Kenapa mereka melakukan ini sama lo?"

Kuanta-nya adalah orang baik, tetapi kenapa dia diperlakukan begitu kejam?

Winona mengangkat wajahnya, mengusap sisa air matanya. Dia harus mencari keadilan untuk sang sahabat. Kasusnya tidak boleh ditutup begitu saja, hanya karena tidak ada bukti yang kuat.

"Enggak, Kuanta gak mungkin bunuh diri. Kalau dia bunuh diri, harusnya pisau menancap di nadi, bukan perut. Ini gak masuk akal, gue harus mencari pelakunya," gumamnya penuh tekad.

Tanpa merapikan kamar yang sudah seperti kapal pecah, gadis berkaus hitam itu bergegas bersiap. Dia akan menemui bunda Kuanta. Kasusnya tidak boleh ditutup begitu saja. Kuanta tidak akan tenang selama pelakunya belum ditemukan.

"Gua akan memberi balasan yang setimpal untuknya. Ona janji sama Anta,"

Dia menghela napas, menenangkan diri sebelum masuk ke rumah yang beberapa hari terakhir tidak dia kunjungi. Terlalu banyak kenangan yang membuat dia sakit saat mengingatnya di dalam rumah tersebut.

"Bunda," panggil Winona. Wanita paruh baya yang masih menggunakan celemek itu tersenyum lembut, menghampiri sahabat putranya. Masih sama, dia akan selalu memeluknya, menganggap Winona seperti putrinya sendiri.

"Jika belum siap, tidak apa kalau tidak mengunjungi makam Anta," Bunda berucap lembut.

Winona memang belum mengunjungi makam sang sahabat. Hari di mana dia menyaksikan betapa tragisnya akhir hidup Kuanta, dia tidak lagi menampakkan dirinya. Dia sungguh tidak siap melepas sang sahabat ke peristirahatan terakhirnya.

"Maaf Ona gagal, Bunda,"

"Enggak, ini bukan salah Ona," wanita itu memegang pipi Winona, menatap gadis di hadapannya sembari tersenyum lembut. Winona pasti masih dipenuhi rasa bersalah. Pertemuan terakhirnya dengan Kuanta berakhir buruk, dan gadis itu belum sempat memperbaikinya.

"Bunda harus menuntut kepala sekolah. Kebenarannya harus diungkap, dan pelakunya harus ditangkap. Kuanta gak boleh berakhir seperti ini, Bunda!"

Bunda menggeleng pelan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan sekarang.

"Kita gak bisa, Nak. Kepala sekolah meminta agar masalah ini tidak diperpanjang, demi nama baik Kuanta dan juga high class sekolah kalian,"

Winona membulatkan matanya, tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar. Kuanta dibunuh oleh seseorang dan kepala sekolah malah memikirkan reputasi kelas itu dibanding nyawa anak-anak yang lain.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang