BAB 5. Blacklist

52 3 0
                                    

Sudah sebulan berlalu sejak putra semata wayangnya meninggal, baru sekarang suasana rumahnya kembali ramai. Aruna tinggal sendiri sejak itu, dan cukup bersyukur atas kehadiran keluarga dari almarhum suaminya tersebut.

"Silakan dinikmati," ucap Aruna menyajikan makanan ringan.

"Kami turut berduka cita sekali lagi untuk kepergian putramu. Tidak ada yang bisa menduga kalau dia akan pergi secepat ini," ucap Nadia prihatin.

Aruna kehilangan suaminya dua tahun yang lalu, dan sekarang dia ditinggal oleh putra tunggalnya. Pasti sangat menyakitkan untuk wanita tersebut. Aruna menggumamkan terima kasih. Mata bengkak serta kantung mata yang tebal menunjukkan bahwa wanita itu sering menangis sendirian.

"Kamu pasti kesepian sekarang," sambung Veni. Wanita itu mendekat, meraih Aruna lalu memeluknya. Ibu mana yang tidak sakit ditinggal, apalagi putranya yang meninggal secara tragis. Belum lagi berita yang mengatakan Kuanta mengakhiri hidupnya. Sungguh mereka sangat kejam memperlakukan anak sebaik Kuanta seperti itu.

"Aku gak apa-apa, Mbak. Aku masih punya Winona yang harus aku jaga, sesuai permintaan Kuanta,"

Jika bukan Winona, sudah sangat lama Aruna ingin mengakhiri hidupnya, menyusul suami dan putranya. Dia sudah berjanji akan menjaga sahabat putranya itu sampai kapan pun.

"Winona ya. Dia hebat menciptakan sebuah komik. Lagi ramai diperbincangkan anak-anak,"

Nadia membuka ponselnya, mencari sebuah unggahan yang sedang ramai akhir-akhir ini.

"Ini dia," ucapnya menunjuk sebuah komik baru berjudul semesta kuanta karya Winona. Gadis itu sengaja tidak menyamarkan namanya agar semua orang mengetahui kalau isi komik itu adalah kisah Kuanta, hingga akhir hidup pria itu.

Aruna tidak sadar telah meneteskan air mata, merasa terharu dengan cara Winona membuat putranya tetap dikenang semua orang.

"Mbak baik-baik saja?" tanya Veni cemas.

"Aku sama sekali tidak menyangka dia melakukan segala cara untuk mengabadikan putraku," gumamnya tersenyum lagi. Kuanta beruntung memiliki sahabat sehebat Winona.

"Kuanta anak baik, begitu pun Winona. Sayang sekali takdir tidak berpihak pada mereka,"

"Padahal aku sudah membayangkan akan sehebat apa keturunan mereka jika mereka ditakdirkan bersama. Winona yang imut dan berbakat, sementara Kuanta jenius dan sangat tampan. Pasti sangat sempurna, bukan?" timpal Nadia.

Bahkan setelah pria itu meninggal, semua orang tetap membanggakannya. Berbeda dari para wanita, suami mereka hanya diam sembari menikmati kopi yang terhidang.

Cavandra suami dari Nadia tersebut mendengkus melihat cara wanita-wanita itu yang sangat membanggakan Kuanta, yang bahkan sudah berbeda alam dari mereka.

"Bagaimana dengan putra kalian? Aku dengar dia satu sekolah dengan Kuanta, apakah dia anak high class juga?" celetuk Veni mulai penasaran. Cavandra berdehem singkat, terlihat kurang menyukai pembahasan tentang putranya.

"Ah tidak, Mbak. Putraku gak terlalu suka dipaksa belajar. Dia lebih suka mengasah skil non-akademik, seperti jurnalistik misalnya," sahut Nadia bertukar pandang beberapa detik dengan suaminya. Veni mengangguk mengerti.

"Oh iya, aku hampir lupa. Jadi begini, Mbak. Mas Andra ada penugasan di luar negeri selama setengah tahun, jadi kami gak bisa mengawasi putra kami," Nadia menjeda sejenak. Rasanya tidak nyaman merepotkan wanita yang baru saja kehilangan putranya itu.

"Katakan saja, Mbak,"

"Kami bermaksud menitipkan putra kami untuk tinggal bersama, Mbak. Itu pun kalau Mbak gak keberatan. Rasanya tidak mungkin kami membawa dia ikut ke Italia, sementara masih harus sekolah juga," jelas Nadia. Wanita iu memberi kode lewat mata, agar suaminya ikut membantu.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang