BAB 21. Saling Menyalahkan

17 1 0
                                    

Harga diri adalah harga mati khususnya bagi anak-anak high class. Nama baik lebih tepatnya nama pribadi yang baik adalah yang utama bagi mereka. Ingat saat diminta latihan. Mereka hanya mementingkan nama baik pribadi dibanding kelompok. Hari ini setelah perjalanan panjang dan berlatih untuk sebuah perfome, nama mereka dihancurkan. Di hadapan semua orang, kepala sekolah yang biasanya membanggakan mereka, kini malah memaki mereka dengan dua kata 'dasar bodoh'.

Dua kata yang sudah membuat image si anak kelas atas hancur lebur. Kepala sekolah selalu di pihak mereka, menjadi backing-an paling kuat yang mereka punya. Namun, oleh satu kesalahan yang tidak mereka sengaja, mereka patah.

Pintu ruangan dikunci dari dalam, tidak peduli dengan apa yang terjadi selanjutnya. Semua anak high class hanya harus membahas masalah mereka sendiri. Apa pun yang terjadi jangan sampai reputasi mereka rusak. Mereka adalah kebanggaan sekolah. Apa kata orang luar sana kalau mereka menerima surat palsu bahkan turut berpartisipasi. Lebih sial lagi, ketua panitia yang ternyata menjadi otak di balik semua ini, malah memuji mereka di depan semua orang.

Sebuah pujian yang berakhir menjadi petaka bagi semua orang. Seperti sebelumnya, Jenandra yang menjadi pemimpin rapat dadakan lagi.

"Kepala sekolah sepertinya benar-benar marah sama kita," ucap si presiden kelas membuka suara. Wajah anak-anak lain tak kalah pias. Benar-benar tidak menyangka akan mendapat masalah sebesar ini. Ada begitu banyak penyesalan dalam benak yang berakhir sia-sia.

"Kita dulunya kebanggaan kepala sekolah, lalu sekarang? Kita hanya orang bodoh yang gak bisa membedakan surat asli dan palsu," timpal si cupu Soya. Anak itu sejak awal sangat sulit ditebak. Kadang ikut alur, menolak tetapi tidak sungguh, menerima pun seperti terpaksa melakukannya.

Belum juga masalah Deya yang tiba-tiba menghilang, mereka sudah ditimpa masalah baru.

Jenandra memperhatikan wajah satu per satu anak high class. Kebanyakan tampak kesal, tetapi tidak sedikit juga yang tampak tenang, seperti Feyana misalnya. Gadis si super ambis itu masih saja tenang, membuka buku pelajaran.

"Kita harus cari cara untuk menyelesaikan masalah ini," pinta Jenandra berharap bisa menarik perhatian semua orang.

"Fey!" panggilnya saat tak kunjung ada respon.

Si empunya nama mendongak sebagai respon, wajah tenangnya tak kunjung luntur, seperti tak ada masalah.

"Heum?"

"Kamu bisa setenang itu belajar saat kita dalam masalah?"

Perkataan Jenandra jelas menarik atensi semua orang dan kini fokus pada Feyana. Tak terkecuali Winona dan Arion. Sejak awal Winona memang sangat memperhatikan pergerakan Feyana yang dirasa sangat mencurigakan.

Feyana melepas earphone yang menyumpal telinganya. Wajar saja dia sangat tenang, rupanya tengah mendengarkan musik.

"Aku juga harus ikut turun tangan menyelesaikan masalah ini?" tanya gadis itu.

"Ya harus dong, kepala sekolah marah sama satu kelas loh," sahut Jeya tidak terima Feyana hendak lepas tangan begitu saja.

"Kepala sekolah meminta kita kembali ke kelas dan belajar, bukannya malah mendiskusikan hal kurang bermutu,"

"Kurang bermutu gimana maksudnya?" Jelas saja mereka tidak terima dengan perkataan Feyana yang mengarah pada tidak peduli dengan masalah yang menimpa mereka. Masalah itu timbul karena keteledoran bersama.

"Loh, sejak awal aku juga tidak ingin berpartisipasi, 'kan? Tapi karena kesepakatan maka aku ikut saja. Lagipula kepala sekolah sedang mencari otak di balik perfome dan juga yang menerima surat itu serta memberi persetujuan, lalu apa urusannya denganku?"

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang