BAB 28. Persaingan

14 1 0
                                    

Seolah tak cukup dengan keringat yang sudah membanjiri wajah mereka, bahkan malam semakin larut. Keduanya masih saling kejar mengejar angka. Shoot, satu tembakan yang berhasil menyudahi permainan mereka. Arion tersenyum puas. Dia adalah pemenangnya, menertawakan gadis yang tengah menggerucutkan bibirnya itu.

Arion merebahkan tubuhnya, menghadap langit malam yang dipenuhi bintang. Napasnya masih belum beraturan, pertanda masih dalam kondisi lelah. Dia menoleh kala Winona mengikutinya, membaringkan tubuh di sisinya, di bawah langit malam.

"Gue terlalu bergantung sama Kuanta, karena dia selalu melakukan apa yang gue gak bisa. Dia selalu ada kapan pun gue butuh. Gue takut kehilangan dia. Awal dia masuk high class, rasanya mulai sepi. Kuanta mulai jarang mengajak gue bermain, bahkan hampir gak memiliki waktu untuk gue," tutur Winona memandang langit, seolah membayangkan ada Kuanta yang sedang memperhatikannya dari atas sana.

"Best friendship ever," komentar Arion.

"Heum, dia sahabat baik yang menolak berjanji akan menikahi gue. Rupanya dia sadar kalau dia gak bisa menemani gue selamanya. Bodohnya, gue bergantung sama dia, makanya berat banget saat gak ada dia. Gue kesulitan belajar, sulit tidur karena gak ada Kuanta yang nemani atau sekedar bercerita tentang ide-ide tulisan baru gue," sambung Winona, tatapan kerinduan itu masih tampak jelas di manik mata gadis itu.

"Kalau aja dia gak pernah masuk high class, mungkin situasinya akan berbeda 'kan?" tanya Winona menoleh, hingga bertemu pandang dengan Arion yang sudah memperhatikannya sejak beberapa menit lalu. Arion melihat perubahan raut wajah Winona selama bercerita. Dalam posisi kepala mereka saling berhadapan, mata yang saling menenggelamkan, dan bibir yang bungkam.

"Kalau Kuanta gak meninggal, gue gak akan bisa sedekat ini sama lo, Na. Jahat ya, punya pemikiran semacam ini?" batin Arion.

Cowok itu menarik sudut bibirnya.

"Bagaimana dengan mimpi ke luar angkasa?"

"Mimpi gue itu dia, Ar. Bukan luar angkasanya. Lo tau maksud gue 'kan?"

"Berarti tanpa dia, mimpi itu gak ada?" Winona mengangguk kecil. Arion mulai paham. Kuanta adalah mimpi Winona yang sesungguhnya. Pergi ke luar angkasa hanya alibi, agar dia bisa terus bersama Kuanta.

"Dari segi apa pun, gue tetap kalah. Ada atau gak ada lo, gue tetap gak bisa menggantikan lo di hidup Winona, Ta."

Sakit sih jadi Arion, berusaha menjadi orang lain demi menyenangkan Winona. Dia mencoba memegang peran Kuanta, hanya agar Winona bahagia.

"Mau dengar cerita versi gue gak, Na?"

"Sangat, dari lama gue menunggu lo cerita tentang diri lo," sahut Winona antusias, mengundang kekehan kecil dari Arion. Gadis itu membuatnya plin-plan.

"Sejak kecil gak pernah ada yang benar-benar mendukung gue. Orang tua gue hanya menuntut tanpa memberi dukungan, hal yang sering membuat gue iri sama kehidupan Kuanta. Dia mendapatkan kasih sayang dan punya sahabat yang selalu dukung dia. Kuanta berprestasi, sementara gue hanya bisa buat ulah. Kuanta buat bangga, sementara gue bikin malu,"

Arion menjeda sejenak. Sudah terlalu banyak hal yang menumpuk dalam dadanya. Cowok itu menyadari tatapan iba Winona padanya. Namun, memilih abai. Kenyataannya hidup Arion tidak seberuntung Kuanta.

"Papa selalu ingin gue setara atau bahkan melebihi Kuanta, tapi gue nolak. Dalam pikiran gue, lo pada gak dukung dan bisanya nuntut doang, buat apa gue nurut. Pikiran yang membuat semua kacau. Papa membenci Kuanta," lanjut Arion.

Ada rasa bersalah dalam kalimat terakhirnya. Arion seolah menyalahkan diri atas yang terjadi pada Kuanta.

"Padahal lo bisa kalau lo mau," komentar Winona. Terbukti kan, Arion bisa lulus seleksi tanpa bantuan seperti yang didapatkan oleh Winona.

"Lo meragukan gue?"

Winona mendengkus, menyesal memberi pujian pada cowok itu. Arion dan Kuanta jelas berbeda dan dia sering melupakan hal itu. Arion tertawa melihat wajah masam Winona.

"Gue ingin ada di posisi Kuanta,"

"Lo ada di sana sekarang," sahut Winona.

"I want to be Kuanta for you, Na! I want to do everything that he can for you!"

..

"Saya bisa, Sir!"

"Saya saja, Sir!"

Mr Richard mulai bingung mengendalikan situasi. Persaingan di kelas itu semakin ketat memperebutkan kesempatan untuk memegang tiket ikut olimpiade. Kelly memang sudah mendapat hak istimewa. Namun, petisi yang meminta agar memberi kesempatan pada yang lain membuat kepala sekolah terpaksa menerima permintaan tersebut.

Untuk menghindari masalah, selain mencari yang lebih unggul, hal yang menjadi penentu adalah pemenang di ujian musiman. Pemenangnya bisa dengan mudah menggeser posisi Kelly yang sudah berjuang mati-matian. Sejak hal ini diputuskan, anak-anak high class semakin ketat persaingannya. Mereka mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki guna mendapat kesempatan terakhir.

"Okay, kita adakan kuis saja. Untuk yang nilainya bagus, akan dapat satu bintang dari saya, mungkin akan membantu di ujian musiman nanti," tawar Mr Richard mengambil jalan tengah.

Pria itu memberi kesempatan pada anak-anak untuk mempersiapkan diri. Jelas semua mulai sibuk dengan buku di hadapan mereka. Mr Richard meminta Winona  untuk membantunya menyiapkan soal. Tidak ada yang terlalu memperhatikan mereka.

"Kamu ingin mendapat kesempatan?" tanya Mr. Richard di sela Winona yang sibuk mengetikan soal untuk kuis hari itu. Winona berpikir keras, tidak terlalu tertarik untuk ikut olimpiade. Mengimbangi pembelajaran di kelas saja, sudah membuat kepalanya terasa panas. Tak terbiasa belajar dan dipaksa mengikuti akademik tingkat tinggi cukup melelahkan.

"Kamu menyadari perbedaan pada Deya, bukan?" bisik pria paruh baya itu menunjuk si ranking 3 dengan dagunya. Winona mengangguk, menyadari perubahan itu. Deya tak tampak semangat seperti yang lainnya. Gadis itu bahkan sedikit lebih pucat dari terakhir kali.

"Menurutmu siapa target selanjutnya, Deya atau Feyana?"

Winona semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan itu. Kenapa bukan Kelly yang disebut? Padahal gadis itu yang lebih berpotensi dibanding Feyana dan Deya.

"Saya tidak paham, Pak," sahut Winona seadanya.

"Yang lemah akan disingkirkan lebih dulu untuk membuka jalan. Selama ini persaingannya sudah mengerikan, maka kali ini akan lebih dari itu. Mereka akan saling menjatuhkan, mencari kelemahan untuk menjatuhkan yang lainnya," urai Mr Richard memperhatikan wajah anak didiknya satu per satu.

"Jujur saya gak terbiasa dengan hal semacam ini, Pak."

"Bu Monalisa meyakinkan saya untuk membantumu. Pasti kamu penasaran tentang komentar dari no name itu 'kan?"

Winona merasa ada banyak rahasia di balik semua ini, bukan hanya anak-anak high class, tetapi juga para guru, termasuk Monalisa dan Mr. Richard.

"Dia sadar kalau ini gak bisa dibiarkan terlalu lama. Reputasi sekolah bisa semakin buruk atau bahkan SMA ini bisa tutup jika sampai kasusnya kebongkar ke publik. Kami bahkan bisa kehilangan pekerjaan. Awalnya saya menolak dan memilih menutup mata, tetapi semakin hari saya mulai tidak nyaman dengan perasaan ini, mungkin rasa bersalah," jelas pria itu memijit keningnya.

Sejak itu dia mulai sejalan dengan Monalisa, memilih membantu wanita itu dan dia untuk meruntuhkan pertahanan high class.

"Bapak berubah pikiran?"

"Heum, kalau kamu ingin mendapat pelakunya, maka jadilah saingan yang diperhitungkan," lontar pria itu lagi.

Saingan yang diperhitungkan?

"Maksud Bapak? Saya harus belajar mati-matian untuk ikut tes itu?"

"Bukankah itu cara paling ampuh untuk memancing pelakunya? Dia akan mengirimu teror agar kamu mundur. Jika kamu bertahan sedikit saja seperti yang dilakukan Kuanta, maka orang itu akan mendatangimu cepat atau lambat," urai Mr Richard.

Itu sama dengan menumbalkan Winona, bukan? Winona mengalihkan perhatiannya, hingga bertemu pandang dengan Arion. Cowok itu menautkan alisnya. Apa cowok itu akan mendukung jika Winona ditumbalkan untuk menangkap pelakunya?

..


High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang