BAB 3. Kecurigaan Winona

64 8 0
                                    

Seperti planet pluto yang menghilang dari peredaran, nama Kuanta perlahan meredup, dan pada akhirnya tidak diperbincangkan lagi. Kuanta menghilang seperti ditelan bumi. Selain kasusunya yang ditutup begitu saja, nama Kuanta mulai dihilangkan dari website SMA Metana.

Semua yang dilakukan oleh uanta menjadi sia-sia. Dia yang berprestasi, berjuang keras demi nama baik SMA Metana. Namun, lihat bagaimana mereka memperlakukannya.

Winona jelas tidak terima, sahabat baiknya diperlakukan tidak adil. Gadis itu bergegas ke ruang kepala sekolah. Tim jurnalistik sekolah juga dilarang membuat unggahan tentang kematian Kuanta bahkan sekedar belasungkawa atas meninggalnya salah satu siswa berprestasi di SMA elit tersebut.

Brak!

"Di mana sopan santun kamu?" hardik pria berkepala botak tersebut. Winona terkekh kecil. Dia mempertanyakan sopan santunnya?

"Seharusnya saya yang mempertanyakan itu pada Bapak. Di mana peran Bapak sebagai kepala sekolah saat seorang siswa berprestasi ditemukan meninggal dunia. Kenapa Bapak diam saja?" cecar Winona, meletakkan koran di atas meja pria paruh baya tersebut.

Siswa berprestasi lelah belajar, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Tidak ada kaitan dengan high class, murni karena alasan pribadi.

"Alasan pribadi apanya? Kuanta tidak bunuh diri, Pak! Jelas-jelas sebuah pisau menancap di perutnya. Wajahnya penuh lebam akibat kekerasan. Apa itu yang disebut bunuh diri?"

Winona menghela napas, berusaha mengendalikan dirinya. Dia jelas tidak terima sahabatnya dituduh bunuh diri. Kuanta bukan orang selemah itu. Dia kenal baik seperti apa sahabatnya sejak orok itu.

"Dia ingin masuk NASA, supaya bisa bawa saya ke luar angkas. Dia memiliki motivasi yang kuat untuk bertahan, apakah orang seperti itu mungkin untuk mengakhiri hidupnya, Pak?"

Winona semakin kesal, pria paruh baya itu seolah menutup mata dan telinganya terhadap semua tuntutan yang Winona buat.

"Cukup Winona! Hentikan sekarang juga. Apa lagi yang perlu kamu cari tau? Toh, masalah itu sudah selesai. Kasusnya sudah ditutup. Jangan membuat reputasi sekolah buruk dengan terus mengulik masalah ini,"

Winona tersontak, tidak menyangka akan mendengarnya dari seorang kepala sekolah, yang katanya panutan untuk semua orang.

"Anda bercanda, Pak? Masalah apa yang selesai? Kuanta meninggal, dan di luar sana pelakunya berkeliaran secara bebas. Apa jangan-jangan Bapak tau siapa pelakunya?" desak Winona.

Pria paruh baya tersebut menatapnya begitu tajam dan penuh peringatan.

"Kembalilah ke kelas dan lupakan masalah ini. Belajarlah yang benar agar lulus dengan baik,"

Bukannya memberi penjelasan, pria itu malah memberinya wejangan.

"Hah! Apa itu berguna di saat seperti ini, Pak? Sepertinya anak high class memang terlibat, itulah sebabnya Bapak melarang polisi memeriksa mereka, bukan?" Winona kembali melemparkan tuduhan.

"Hentikan Winona! Jangan memancing kemarahan saya atau.."

"Maaf, Pak.."

Kedatangan seorang guru mengiterupsi perbincangan mereka. Winona sempat bertukar pandang dengan pria tersebut. Dia mengenalnya. Mr Ricard, salah satu guru yang mengajar di high class.

SMA Metana memiliki tiga tingkatan untuk kelas. Bukan berdasarkan kelas x, xi, xii seperti pada umumnya. Semua tergantung prestasi yang mereka punya. Tingkatan teratas, terdiri dari satu kelas yang disebut high class. High class merupakan kelas paling istimewa, memiliki gedung terpisah dari dua tingkat lainnya. Guru yang mengajar di kelas itu pun bukan guru biasa seperti yang ada di dua tingkat kelas lainnya.

Tingkatan kedua disebut kelas menengah, terdiri dari tiga kelas, diisi oleh orang-orang yang memiliki talenta tertentu baik akademik maupun non akademik. Yang terakhir di sebut kelas biasa, terdiri dari 6 kelas. Kelas ini yang terbawah, diisi oleh orang-orang biasa yang bisa saja memiliki kecerdasan akademik atau non akademik tetapi tidak lulus seleksi high class.

Mr Richard lebih dulu mengalihkan perhatiannya. Sementara Winona memutuskan untuk keluar dari ruang kepala sekolah.

"Kalau begitu saya akan cari tahu sendiri pelakunya!" tukasnya sebelum benar-benar berlalu.

Dia benar-benar muak dengan sikap pria botak itu.

"Lo mencurigai anak high class?" tanya seseorang membuat langkah Winona terhenti.

Arion, ketua klub jurnalistik sekolah mengajak Winona ke ruangan.

"Minum dulu," ucapnya menyodorkan teh hangat,

"Kepala sekolah meminta kami untuk tidak mengunggah apa pun terkait kematian Kuanta. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karna kalau melanggar klub ini akan dibubarkan," jelas Arion. Winona mengerti. Dia juga salah satu anggota klub tersebut, meski hanya anggota pasif.

"Kuanta ditemukan belasan jam setelah dia meninggal, dan di hari itu hanya anak high class yang memiliki kegiatan tambahan di sekolah. Diprediksi kejadiannya antara pukul 17.00-18.00, waktu di mana kelas tambahan mereka selesai. Sayang sekali mereka sangat dilindungi oleh kepala sekolah," lontar Winona.

Arion menarik kursi untuk duduk di hadapan Winona. Dia tidak terlalu dekat dengan gadis itu, tetapi dia tahu dia gadis yang baik.

"Gue udah kenal Kuanta dari kecil, bahkan dari bayi. Dia bukan orang lemah yang akan bunuh diri karena tertekan. Dia juga bukan orang jahat yang memiliki banyak musuh, kecuali orang-orang yang ingin menggeser posisi ranking 1 paralel yang di pertahankan selama 2 musim berturut-turut,"

"Anak high class jadi tersangka utama, dan sejujurnya gue juga mencurigai mereka. Kelas itu satu-satunya yang tidak bisa diliput anak jurnalistik, kecuali atas perintah kepala sekolah. Mereka juga hampir tidak pernah terlihat ke kantin. Mereka sangat tertutup dan mungkin menyimpan banyak rahasia," timpal Arion.

Nyatanya bukan hanya Winona yang merasakan semua kejanggalan di dalam kelas tersebut.

"Mereka dilindungi oleh kepala sekolah, dan mungkin juga memiliki kekuasaan untuk terbebas dari ini semua. Pasti sulit untuk menembusnya, kecuali kita menjadi bagian dari kelas itu sendiri,"

Mereka tidak memiliki bukti dan juga akses untuk masuk ke kelas tersebut. Winona mengusap wajahnya. Rasanya semua semakin kacau sejak Kuanta masuk kelas itu.

"Lalu apa kita harus diam saja? Membiarkan pelakunya hidup dengan tenang, begitu?"

Arion menggeleng, juga tidak akan membiarkan pelakunya lolos begitu saja.

"Satu-satunya cara adalah ikut seleksi. Anak high class kini tersisa 19 orang, artinya kurang 1. Tidak lama lagi kepala sekolah pasti akan mengadakan seleksi untuk mengait satu orang agar memenuhi kelas itu sesuai standar. Kita bisa mencobanya, meski hanya salah satu dari kita yang akan masuk, tetap saja kita harus mencobanya," usul Arion.

Seleksinya jelas bukan hal yang mudah, apalagi untuk orang berotak pas-pasan seperti Winona. Gadis itu lebih suka membuat sketsa untuk komik, dibanding menghafal rumus apalagi mengerjakan soal.

"Orang-orang akan mulai melupakan keberadaan Kuanta, tidak peduli seberapa banyak prestasi yang sudah dia raih. Dia akan hilang dan eksistensinya di high class akan terlupakan,"

Winona menggeleng kuat. Kuanta tidak boleh dilupakan begitu saja. Dia harus membuat semua orang tetap mengingat Kuanta, sampai pelakunya ditemukan.

"Gue akan buat komik tentang dia, untuk menjaga namanya tetap dikenal, sementara itu kita berusaha untuk masuk high class dan menemukan pelakunya,"

Arion mengangguk "Ayo lakukan yang terbaik," timpal pria itu mendukung Winona. Mulai sekarang dia akan berada di belakang Winona dan mendukung keputusan gadis itu.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang