BAB 10. Seleksi

29 3 0
                                    

Tangan Winona tiba-tiba saja basah oleh keringat. Dia benar-benar merasa gelisah. Pertama kali sepanjang sejarah hidup, dia akan mengikuti ujian untuk menentukan rencana ke depannya. Selama ini, dia mengandalkan Kuanta, baik dalam ujian tengah semester maupun akhir semester. Kuanta pasti akan memberinya beberapa kisi-kisi yang pasti masuk sebelum ujian tiba.

Winona menoleh saat tangannya digenggam seseorang. Arion pelakunya. Pria itu tersenyum menenangkan, hingga memunculkan lesung pipi yang tampak manis. Wajah Kuanta yang tengah menenangkannya muncul begitu saja. Gadis itu menunduk, memperhatikan tangan mereka yang saling menggenggam.

"Kita lakukan untuk Kuanta. Kita pasti bisa lulus," ucapnya meyakinkan.

Mereka masuk ke satu ruangan. Terhitung sekitar 40 orang ikut seleksi, hanya untuk mengambil satu orang saja. Persaingan yang sangat ketat tentu saja.

Winona menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, dan berdoa sebelum mulai menghadap soal yang sudah tergeletak di atas mejanya.

"Bisa gak sih, Anta datang terus bantuin Ona," batin gadis itu, menggumamkan nama Kuanta berkali-kali.

Dia berusaha keras, menyelesaikan semua soalnya, meski banyak keraguan dalam dadanya. Gadis itu menoleh, menatap ke arah Arion. Pria itu juga terlihat begitu serius.

"Kuanta melakukan banyak hal baik selama hidupnya. Gue harap kami bisa melakukan yang terbaik untuk lo juga, Ta," gumamnya menemukan semangatnya kembali.

Dua jam berlalu untuk menyelesaikan 150 butir soal yang sangat menguras pikiran. Soal dikumpulkan kembali. Sangat rahasia dan tidak akan bisa dibaca ulang untuk sekedar latihan. Semua dilakukan agar orang yang hendak ikut seleksi berikutnya tidak punya referensi yang terlalu mendetail.

"Kali ini gue yakin pasti lulus," ucap salah seorang gadis. Dia memiliki pita di rambutnya.

Merasa masih malas keluar ruangan, Winona  malah memperhatikan interaksi gadis-gadis itu.

"Ck, dari tahun kemarin juga lo bilang yakin bakal lulus," ejek salah seorang temannya.

"Udahlah, Jeya. Berhenti berharap. Tempat itu bukan untuk lo. Kasihan tuh otak dipaksa belajar, nanti panas terus meledak, bahaya!" timpal siswi lainnya malah menertawakan gadis bernama Jeya.

"Itu beda. Gue bahkan mempunyai soal dari 2 tahun sebelumnya. Hampir 50 % masuk di soal yang baru kita kerjakan. Gue yakin sih bakal lulus," lontarnya percaya diri.

Mereka seambis itu untuk masuk high class. Tentu saja, iming-iming hak istimewa dan direkomendasikan masuk NASA membuat mereka tertarik. Sayang sekali, mereka kadang lupa kalau ambisi yang terlalu besar kadang malah menjadi petaka.

"Kenapa wajah lo familiar?" tanya salah satu siswi tadi, Winona menunjuk dirinya. Ragu kalau mereka memang mengajaknya berbicara.

"Iya, lo Winona kan? Kalau gak salah lo anggota klub jurnalistik deh, bukannya kalau udah masuk high class gak boleh gabung klub apa pun ya? Lo kok nekat ikut seleksi sih?" tanya siswi itu semakin penasaran.

Semua pandangan kini tertuju pada Winona, menunggu jawaban gadis itu.

"Dia hanya anggota, gue yang ketua aja bisa memiliki pemikiran untuk ikut seleksi," ucap seseorang.

Arion datang, menyerahkan sebotol air mineral untuk Winona. Ternyata pria itu langsung ke kantin untuk membeli beberapa minuman dan makanan ringan untuk Winona.

"Arion? Serius lo ikut seleksi? Kok gue gak sadar ya?"

Arion terkenal sebagai seorang yang berpotensi membangun klub jurnalistik, yang hampir dibubarkan. Menjadi tanda tanya besar saat pria itu tiba-tiba ikut seleksi.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang