Tangannya bergerak lincah menggoreskan pensil, menggambarkan bentuk hati di tengah jemari manis yang saling bertaut, memperkuat janji yang terucap.
"Anta janji akan selalu di sisi Ona. Anta yang akan menggantikan Om Zavi untuk menjaga kamu, akan selalu ada di setiap proses hidup kamu. Jangan takut, Na,"
Pria itu menarik sang sahabat ke dalam dekapannya, mengusap rambut Winona. Zavi adalah sosok cinta pertama dan panutan hidup Winona. Kehilangan pria itu pasti bukan hal yang mudah untuk dia terima. Berhari-hari setelah abar kematian Zavi, Winona hanya mengurung diri di dalam kamar. Hanya Kuanta yang bisa membujuknya.
Kuanta menangkup wajah gadis itu, mengusap lembut sisa air mata. Mata sayu dan memerah, memperjelas bahwa Winona tidak tidur.
"Papa kenapa ninggalin Ona, Ta? Kenapa Papa jahat sama Ona? Papa yang janji akan selalu mendukung Ona. Sekarang, Ona gak punya Papa lagi," isak Winona menumpahkan air matanya. Selama proses pemakaman, Wiona hanya diam, menatap kosong tanpa ekspresi sama sekali. Baru kali ini, dia benar-benar bisa menumpahkan kesedihannya.
"Ada aku! Jangan merasa sendiri, Na!"
Kuanta sudah lebih dulu merasakan kehilangan yang sama. Dia mengerti betapa perih rasanya. Saat itu hanya Winona yang mendukungnya, membantunya untuk bangkit. Hal yang sama seperti yang saat ini dia lakukan. Bedanya Winona begitu dekat dengan Zavi, ditambah dia yang merupakan putri tunggal merasakan kasih sayang yang utuh dari orang tuanya.
"Ona takut, Anta," lirihnya.
Kuanta mengangkat tubuh sang sahabat ke atas kasur, memeluk erat tubuh rapuh itu, agar merasa lebih hangat.
"Sekarang tidur ya. Aku tau kamu gak tidur beberapa hari ini. Jangan memendam segalanya sendiri, Na. Ingat, ada aku yang siap menjadi sandaran untuk kamu!" ungkapnya mengelus punggung Winona. Usapan lembut di punggung juga rambutnya, membuat mata gadis itu terasa berat. Sampai tanpa terasa mata gadis itu bisa terpejam setelah beberapa hari ini terus terjaga.
"Tidur yang nyenyak, Na," gumam Kuanta terdengar samar di telinga gadis itu.
Dia yang membantu Winona bangkit, memberikan perhatian penuh untuk sahabatnya. Dia juga orang pertama yang hadir saat Winona sakit. Hanya dalam pelukan Kuanta, Winona merasa begitu nyaman dan tenang.
"Janji akan selalu ada?"
"Janji!"
Kalimat yang mengisi percakapan dalam komiknya. Winona mengulas senyum melihat hasil karyanya yang cukup memuaskan. Dia menghela napas. Hanya ini yang bisa dia lakukan untuk mengabadikan Kuanta dalam hidupnya.
"Buatlah seorang penulis jatuh cinta, maka kamu akan abadi dalam karyanya. Gue pikir itu hanya qoutes semata, ternyata itu benar adanya. Bukan sebagai sahabat tetapi cinta yang abadi, itu yang terjadi sama lo dan Kuanta," tutur Arion duduk di sisi Winona.
Dia memperhatikan hasil karya gadis itu. Semua hanya tentang Kuanta dan persahaabatan mereka yang manis.
"Gue juga terlambat menyadarinya, Ar. Dulu gue pikir gue butuh Kuanta hanya sebagai sahabat. Sekarang, gue sadar kalau gue butuh dia lebih dari itu. Dia adalah hidup gue. Dia adalah semesta dan dunia gue yang direbut secara paksa," ungkap Winona menggenggam erat pensil.
Arion menggenggam tangan gadis itu yang terkepal.
"Cinta kalian abadi lewat karya lo,"
Ada gejolak dalam dadanya yang sulit dia maknai. Arion merasa getaran aneh saat menggenggam tangan Winona.
Pritt!
Bunyi peluit membuat atensi keduanya teralihkan. Arion melepas genggamannya.
"Anak laki-laki silakan masuk ke lapangan!"
Suruh pria yang tadi membunyikan peluit. Hari ini jadwal untuk olahraga. Selain tentang gedung kelas yang berbeda, juga berbeda dalam hal olahraga. Kelas biasa dan menengah biasanya akan melakukan olahraga di ruangan terbuka, sementara high class melakukan olahraga di gedung tertutup. Benar-benar berkelas, seperti namanya.
Hanya anak laki-laki yang diberi kesempatan untuk bermain basket, sementara para siswi menunggu di pinggir aula. Mereka tidak perlu berpanas-panasan seperti anak-anak yang lainnya. Winona menutup sketsa yang sudah dia buat, digantikan dengan catatan akan nama 20 orang high class.
Perhatiannya tidak lepas dari anak laki-laki yang tengah bermain basket. Memperhatikan tingkah mereka. Meski fokus untuk belajar, tubuh anak-anak itu cukup bagus, seperti terjaga dengan baik. Tubuh mereka tinggi dan terbenuk sempurna, berbeda jauh dari pemikirannya tentang anak-anak berkacamata tebal yang hanya hobi membaca buku.
Bayangan Kuanta muncul begitu saja. Pria itu tengah tersenyum setelah berhasil memasukan bola ke ring. Selain pintar, Kuanta juga cukup terlatih dalam basket.
"Ternyata Arion keren juga kalau diperhatikan!"
"Jenandra juga gak kalah keren!"
"Alfano sih, apalagi saat berkeringat seperti itu!"
"Dih apaan sih, jelas Reno yang paling cakep. Tuh kan dia berhasil masukin bola ke ring lagi!"
Nyatanya semua sangatlah normal. Gadis-gadis itu juga memiliki orang yang dikagumi. Namun, ada juga beberapa yang tidak terlalu peduli dengan permainan basket di hadapannya. Gadis-gadis yang lebih memilih untuk membaca buku. The real siswi ambis.
"Paralel 2 Kelly Anggreni. Paralel 3, Deya Keylona dan paralel 4 Feyana Baskara. Tiga gadis yang tidak pernah bisa menggantikan posisi Kuanta," gumam Winona memperhatikan satu per satu.
Kelly yang tengah membaca buku. Deya yang memainkan ponsel, kemungkinan belajar dari jaringan internet, sementara Feyana lebih fokus mencoret buku di tangannya, sepertinya mengerjakan tugas.
"Apa mereka tidak muak belajar terus?"
Perutnya tiba-tiba saja terasa perih, dan terasa mual. Gadis itu menyentuh perutnya, keningnya mulai basah oleh keringat. Pandangan gadis itu mulai buram. Dia berusaha untuk menahannya dan mulai berdiri. Namun, kakinya malah seperti jelly, tidak mampu menahan berat tubuhnya.
"Na, are you okay?" Arion menghampirinya dengan wajah cemas.
"Perut aku perih, Ar," keluh Winona.
Arion berjongkok, meminta Winona untuk naik ke punggungnya. Kakinya melangkah cepat, menghiraukan panggilan yang terus mencoba menghentikannya.
Meski ricuh karena Winona yang tiba-tiba sakit, tiga orang yang menduduki ranking paralel itu sama sekali tidak terganggu, malah makin fokus pada kegiatan mereka sebelumnya. Mereka hanya menoleh sekilas.
..
Asam lambung membuat Winona tidak berhenti muntah, mengeluarkan isi perutnya. Perut gadis itu terasa perih hingga sampai ke tenggorokan yang terasa panas.
Arion memijit tengkuk Winona yang terus saja memuntahkan isi perutnya. Rasa pusing menghampiri gadis yang tengah kehabisan tenaga itu.
"Sakit, Anta," lirih Winona mulai meneteskan air mata. Saat sakit, biasanya dia akan bermanja pada Kuanta, meminta ini itu yang akan langsung dituruti oleh Kuanta.
Tubuhnya yang terangkat ke udara membuaat Winona membuka mata, hingga bertemu pandang dengan Arion. Seandainya itu Kuanta, rasa sakitnya pasti akan langsung berkurang.
"Tunggu di sini bentar. Gue urus surat izin dulu, setelah itu kita pulang. Lo harus istirahat dan makan teratur, sekalian mampir di apotik untuk resep obat," ucap Arion.
Baru hendak pergi, Winona menahan pergelangan tangannya. Gadis yang tengah berbaring di bed UKS itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan tinggalkan gue terlalu lama, Ta! Gue benar-benar gak bisa tanpa lo!" rancau Winon. Arion tersenyum, membawa tangan Winona ke dalam genggamannya.
"Gue gak akan lama, Na! Gue akan kembali secepatnya!"
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
High Class
Mystery / Thriller... Kuanta Agran adalah siswa dengan segudang prestasi, ranking 1 paralel dari high class dan tidak pernah tergantikan. Nama yang dielu-elukan akan mendapat golden ticket sesuai misi High Class. Namun, Kuanta tidak pernah sampai di tujuan. Si ranki...