BAB 9. Peran

32 3 0
                                    

Hiruk pikuk orang yang berlalu lalang. Orang saling menyambut dan mengantarkan. Memeluk untuk membebaskan kerinduan atau untuk melepas kepergian. Ke sekian kalinya wanita paruh baya itu memeluk tubuh remaja laki-laki di depannya. Dia akan meninggalkan putranya lagi.

Mereka bahkan tidak ada di saat putranya tumbuh, dan sekarang pun mereka masih harus meninggalkan Arion begitu saja.

"Mama doakan yang terbaik untuk seleksi kamu nanti. Beritahu Mama apa pun yang terjadi di sini, heum?"

"Mama tenang aja. Arion udah bukan anak kecil lagi. Mama bisa pergi dengan tenang, lagipula ada Bunda yang akan jagain Arion. Arion percaya kok kalau Bunda bisa memenuhi semua kasih sayang yang Arion butuhkan," sahut Arion, bahkan berisi sindiran halus untuk kedua orang tuanya yang selalu sibuk.

Nadia menghela napas. Arion menjadi korban keegoisan mereka.

"Ya udah jaga diri baik-baik,"

"Kamu harus lulus, jangan sia-siakan kesempatan," lontar Cavandra. Pria paruh baya itu lebih memikirkan seleksi yang akan diikuti oleh putranya dibanding keselamatan putranya sendiri.

Arion tersenyum miring. Sejak dulu Cavandra belum berubah juga. Terus saja menuntut dirinya untuk bisa lebih dari Kuanta, tanpa memberikan dukungan yang seimbang. Dia dan Kuanta bagai langit dan bumi. Kuanta dengan kejeniusan dan orang tua yang begitu mendukungnya. Sementara Arion itu hanya remaja yang selalu bikin ulah dan kekurangan kasih sayang.

"Aku udah bilang kan, Pa. Alasan aku ikut seleksi dan masuk high class hanya untuk menemukan pelaku yang membunuh Kuanta, jadi jangan berharap terlalu banyak padaku," jelas Arion.

"Papa tidak peduli apa pun alasannya. Paling tidak kematian anak itu, bisa membawa perubahan untukmu,"

"Pa, jangan bicara sembarangan," tegur Nadia.

"Di mana letak salahnya? Selama ini kita udah berusaha menyuruhnya untuk masuk kelas itu, agar bukan hanya Kuanta yang dibanggakan, tapi dia selalu menolak. Sekarang, setelah Kuanta meninggal, dia malah ingin masuk dan sok menjadi pahlawan," cecar Cavandra semakin memprovokasi Arion. Terlihat begitu muak dengan nama besar Kuanta yang diagung-agungkan semua orang.

"Kamu tau telinga Papa panas setiap kali mereka membicarakan anak itu, bahkan saat sudah meninggal pun masih jadi bahan pembicaraan orang-orang," sambungnya.

Arion mengepalkan tangan kuat, tidak terima sepupunya diperlakukan seperti itu oleh Cavandra.

"Pa, cukup! Bahkan Kuanta lebih mengetahui apa yang aku inginkan, dibanding Papa yang notabenya orang tua aku. Berhenti membicarakan hal buruk tentang Kuanta. Lebih baik kalian pergi saja, toh apa bedanya? Ada atau gak ada akan sama saja untukku!" pungkas Arion.

Ingin sekali membungkam mulut pria paruh baya yang sembarang bicara itu.

"Ayo, Pa,"

Nadia menarik suaminya yang terlihat sama murkanya. Pertengkaran bisa terjadi jika mereka tetap bersama.  Arion sama persis dengan Cavandra, sama-sama sulit mengendalikan emosinya.

Arion mengusap wajahnya, mulai gusar.

"Sial!" umpat Arion.

Gagal, dia gagal menjadi seorang sepupu untuk Kuanta.

"Seharusnya lo bisa lebih jujur ke gue, Ta. Bukannya diam dan menghadapi semua sendirian. Kalau udah gini, gue bahkan merasa gak berguna sebagai saudara lo."

Kuanta adalah orang pertama yang datang mengulurkan tangan untuknya. Pria itu bahkan membantunya beberapa kali lolos dari guru, dengan jabatan yang dia punya sebagai ketua osis.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang