BAB 34. Inside Her Memori

6 0 0
                                    

Soya namanya, gadis berkacamata yang lebih banyak diam. Hanya akan angkat bicara di waktu-waktu tertentu. Sankin pendiamnya, Winona kadang tidak menyadari keberadaan gadis yang terkesan cupu itu. Kacamata bulat yang sedikit melorot, membuat gadis itu memperbaikinya.

"Kamu sungguh tidak mengingatku, ya?"

Sekeras apa pun Winona berusaha, tak ada memori tentang Soya, atau nama gadis itu. Tidak ada kenangan apa pun, dan itu cukup membuat dia frustrasi.

"Tidak perlu dipaksa, nanti juga kalau udah pulih, kamu akan mengingatku lagi. Senang melihatmu, Na. Aku berharap akan ada waktu baik untuk kita bersama lagi, seperti dulu," tutur gadis itu.

Tidak ada raut kecewa di wajahnya. Soya hanya mengembangkan senyumnya.

"Lo gak bisa pergi, setelah membuat gue kebingungan,"

Soya harus memberitahunya apa pun yang sudah dia lupakan. Sebanyak apa memorinya yang menghilang dan apa alasannya? Kenapa dia melupakan Soya?

Dia bahkan melupakan Arion, yang pernah mengukir kisah di lembaran masa lalunya.

Senyum di wajahnya mulai memudar, menyisakan wajah sendu. Ada sesuatu di masa lalu yang sangat buruk, hingga berat untuk mengenangnya. Ada bagian di masa lalu yang harus dilupakan, sekaligus diingat. Ada bagian menyakitkan sekaligus kenangan yang menyenangkan. Kedua sisi itu membuat keadaan semakin buruk.

"Kuanta merebut semuanya, Na. Aku berjuang mati-matian demi bisa mengimbangi dia,"

Sejenak Soya menghela napas, mengendalikan emosi yang bergejolak saat menyinggung nama Kuanta. Winona semakin bingung. Kenapa semua orang selalu mengaitkannya dengan Kuanta? Apa yang sebenarnya sudah dilakukan sahabatnya itu di masa lalu?

Winona mengenal Kuanta sebagai sosok malaikat. Dia yang selalu ada. Dia yang selalu mengerti situasi dan dia yang berjuang untuk impian besar mereka. Di mata Winona, Kuanta nyaris sempurna. Tidak ada cela buruk untuk cowok itu. Namun, semakin kemari, Winona seperti menemukan dark side sahabat yang bersamanya selama bertahun-tahun itu.

"Soya, kamu mengenal Kuanta dengan baik?"

Winona ingin tahu sejauh mana Soya pernah hadir di masa lalu mereka.

"Satu hal pasti, Kuanta terobsesi untuk memilikimu. Itulah alasan dia tidak membiarkanmu dekat dengan orang lain. Tindakannya mungkin tampak biasa untukmu, hingga kamu tidak sadar kalau dia mengekang hidupmu, mengisi memorimu hanya tentang dia," ungkap Soya.

Tidak, Soya salah tentang itu.

Winona terus menyangkal dalam hati. Dia yakin sudah mengenal Kuanta dengan sangat baik.

"Sampai ketemu lagi, Na. Aku tahu kamu pasti akan mempercayai perkataanku, karena aku tinggal dalam memorimu, meski tampak buram," sambungnya, lantas berlalu begitu, meninggalkan banyak tanya dalam benak Winona.

Dia tidak mengenal Soya. Tidak pernah menaruh perhatian khusus, karena gadis itu tak tampak mencolok. Lalu, hari ini dia dikejutkan dengan kedatangan Soya yang mengaku sebagai teman lamanya. Dia menyandarkan tubuhnya yang terasa lemas ke dinding toilet. Otaknya mulai panas, memikirkan semua yang semakin hari semakin rumit. Tak ada pencerahan sama sekali. Sebaliknya, semakin dia mencari, semakin banyak hal yang membuat dia kebingungan.

Selama ini dia berlindung pada Kuanta. Apa pun masalah yang akan dihadapinya, selalu diselesaikan oleh cowok itu. Sekarang, dia terjebak dalam teka-teki yang tidak kunjung menemukan jalan keluar.

Kenapa dia harus percaya pada Soya?

Soya salah satu anak high class, yang patut dicurigai.

Soya pasti hanya ingin mengalihkan perhatian Winona, itu saja 'kan?

..

Kepala sekolah ingin beritanya segera dinaikkan, Arion menurut saja tanpa bantahan sama sekali. Cowok itu menuliskan artikel sebaik dan sesuai keinginan pimpinan SMA Metana tersebut. Dia masih tampak tenang.

Meski pikirannya tertuju pada Winona. Cemas, tentu saja dia mencemaskan gadis itu.

"Apa sudah sesuai keinginan Anda?" tanya cowok itu menunjukkan hasil tulisannya.

Kepala sekolah tersenyum puas, meminta Arion untuk mengunggahnya. Namun, cowok itu masih diam saja. Hal itu menimbulkan tanda tanya besar di benak sang pimpinan.

"Apa lagi yang kamu tunggu, unggah sekarang juga," perintah Mr. Christ tak terbantahkan.

Arion menarik laptopnya, menjauh dari jangkauan kepala sekolah. Dia mengeluarkan selembar kertas yang sudah disiapkan, beserta kamera yang siap merekam apa pn yang akan mereka lakukan. Arion memposisikan kamera itu, lantas menyodorkan kertas berisi perjanjian tersebut.

Perjanjian untuk tidak pernah membubarkan klub jurnalistik.

Kepala sekolah menatap Arion tajam, tetapi dibalas santai oleh cowok itu. Harusnya, Mr. Christ tidak mencoba membodohi Arion. Anak itu tampaknya berbeda dari anak-anak klub jurnalistik yang lainnya. Jika dia menginginkan sesuatu, maka harus terwujud. Mirip seperti ambisi, tetapi Arion masih bisa menyeimbangkan pikirannya, hingga masih waras seperti sekarang.

"Kamu ingin saya menandatangani ini? Bukankah ini pemaksaan?"

"Apa bedanya dengan ancaman pembubaran klub, agar anak-anak klub melakukan semua perintah Anda? Saya pikir sudah cukup bermain-mainnya. Kalau Anda tanda tangan di sini, tanpa rekaman, Anda bisa menyangkalnya dan mengatakan itu palsu, bukan?" Arion bisa menebak isi pikiran Mr. Christ.

Pria paruh baya itu menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya. Dia menatap Arion cukup lama, senyum miring mulai tercetak di bibirnya.

"Kamu rupanya tidak sebodoh yang orang pikirkan," ucapnya penuh makna.

Hanya ada satu orang yang bisa menantangnya. Hanya orang itu yang berani mencari tahu lebih banyak tentangnya. Orang yang tidak akan pernah mundur, meski sadar kalau nyawa akan jadi taruhannya. Kini, dia menemukan satu orang lagi.

"Dan Anda tidak secerdas yang pernah saya pikirkan," sahut Arion.

Dia memang sengaja mengikuti keinginan kepala sekolah, meliput pengakuan yang dibuat oleh orang tua Deya, lantas menuliskan artikel terkait hal tersebut. Tulisan Arion jelas tidak lagi bisa diragukan. Ibarat komputer, Arion adalah proccesor bagian terpenting yang dimiliki klub tersebut. Arion adalah kunci sekaligus sayap yang bisa menerbangkan atau menjatuhkan klub jurnalistik sekolah.

"Jadi, kamu ingin saya menandatangani ini? Supaya klub jurnalistik bisa meliput high class tanpa pengawasan?"

"Bukankah Anda tidak perlu mempertanyakannya lagi?" sahut Arion, menggeser kertas tadi ke hadapan Mr. Christ beserta dengan bolpoin.

Pria itu meraih bolpoin lantas membubuhkan tanda tangannya. Untuk sesaat, dia perlu mundur beberapa langkah, memberi jeda lantas menyiapkan kuda-kuda untuk langkah selanjutnya.

"Saya harap ini cukup kuat untuk membuat Anda berhenti menekan klub jurnalistik juga ekskul lainnya," lontar Arion.

Selain ekskul jurnalistik, rupanya Arion memberi poin yang sama pada ekskul lainnya.

Setiap ekskul bebas berdiri, tanpa kekangan dari pihak manapun.

Poin terpenting yang Arion masukkan dalam perjanjian tersebut.

"Terima kasih atas kerja sama Anda hari ini, Pak. Saya sudah menggunggah artikel sesuai keinginan Anda. Saya harap Anda lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan," ucap Arion.

Dia segera merapikan laptop, kamera serta salinan surat perjanjian tersebut. Mulai sekarang, kepala sekolah tidak berhak atas pembubaran ekskul tanpa alasan yang jelas. Dia berjalan menyusuri lorong, menuju kelasnya. Netranya menangkap sesuatu. Untuk ke sekian kali, Kelly selalu hadir di waktu yang kurang tepat.

Di sana, di salah satu lorong antar ruangan, Kelly berdebat dengan seseorang. Arion harus mendekat agar bisa melihat lawan bicara gadis itu.

"Apa Anda akan terus seperti ini? Berhenti sajalah, tidak akan ada gunanya! Sebaliknya, semakin Anda ikut campur, semakin banyak korban yang jatuh."

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang