BAB 7. Berjuang Untukmu

38 3 0
                                    

Bukannya fokus pada soal latihan, pria itu terus saja melirik gadis di sebelahnya. Rasanya masih tidak nyata. Baru beberapa jam yang lalu gadis itu memintanya berjuang sendiri, dan sekarang gadis itu sendiri yang datang dan mengajaknya untuk belajar bersama, bahkan tanpa penjelasan apa pun.

"Apa?" Dia dengan santai menautkan alisnya.

"Seharusnya gue yang bertanya, bukannya lo udah di blacklist, kenapa masih kukuh ingin berjuang?"

Winona meletakkan pena di tangannya, dan kini membalas tatapan Arion. Dia mengulas senyum tipis. Tangannya bergerak begitu saja mengacak rambut Arion. Ah, dia sepertinya lupa kalau yang ada di hadapannya saat ini bukan Kuanta, sahabatnya.

Dia terdiam, seolah baru menyadarinya, sementara pria di hadapannya malah semakin bingung.

"Kenapa? Gue membuat lo ingat sama Kuanta?" tebak Arion tepat sasaran.

"Maaf. Gue tau ini salah, harusnya gue berhenti berpikir kalau lo adalah Kuanta," aku Winona, menunduk dalam. Bayangan itu muncul begitu saja. Dia selalu melakukan hal yang sama saat bersama Kuanta.

Arion tersenyum, mengambil tangan Winona, dan mengacak rambutnya. Gadis itu membulatkan mata.

"Tidak mudah melupakan orang yang selalu ada, apalagi sampai tidak bisa melihat raganya. Pasti sangat menyakitkan. Gue mengerti. Gak masalah kalau lo tiba-tiba melakukan kebiasaan saat bersama Kuanta. Its okey, lo gak perlu merasa bersalah,"

Mata coklat Winona seperti menenggelamkannya. Senyum Arion semakin lebar, menampakkan lesung pipi yang cukup dalam. Winona menghela napas. Menahan diri bukan keahliannya. Dia terbiasa melakukan apa pun bersama Kuanta. Ditinggal secara tiba-tiba membuatnya cukup kesulitan.

Sekali lagi dia bertahan hanya untuk mendapatkan keadilan bagi sang sahabat.

"Gue akan berusaha menahan diri mulai sekarang. Gue minta maaf kalau lo merasa gak nyaman. Ayo belajar lagi,"

Winona mengambil pena miliknya, mencoba fokus. Dulu, dia selalu mengejek Kuanta yang terlalu menyukai fisika, berkutat dengan angka yang tiada habisnya.

"Apa sih, Ona gak ngerti," rengek Winona menunjukkan buku tugasnya pada sang sahabat.

"Sini Anta ajarin,"

Pria itu begitu sabar. Bukan hanya sudah kebal dengan rengekan Winona, tetapi juga sifat manja gadis itu. Winona yang mudah menyerah, pada akhirnya membiarkan sang sahabat mengerjakan tugasnya. Ah, dia lupa kalau dia tidak boleh terlalu bergantung pada pria itu.

Ketika dia kesulitan, nama Kuanta yang selalu dia panggil.

"Ona gak takut, 'kan ada Anta."

Dalam hal apa pun, Winona pasti selalu membutuhkannya. Terutama sejak William meninggal dan Liana yang sibuk dengan dunianya sendiri. Hanya ada Kuanta di sisinya.

"Na, hidung lo berdarah,"

Winona tersadar saat darah mulai menetes di buku tulisnya. Arion cemas, bergegas membuat gadis itu menengadah.

"Es, gue harus cari es. Na, lo punya es?"

Ah kalau panik, Arion menjadi sulit untuk berpikir. Daripada bertanya, pria itu memilih bergerak dan mencari sendiri es di rumah gadis itu. Cukup menyusahkan, karena itu bukan rumahnya. Dia bahkan kesulitan menemukan letak dapur.

"Dia benar-benar sendirian. Bagaimana dia mengurus diri kalau begini? Siapa yang tau kalau dia lagi sakit?" gumam Arion baru menyadari tidak ada siapa pun selain mereka. Arion mulai mengerti kenapa Winona begitu bergantung pada pria bernama Kuanta itu.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang