BAB 18. Their Interaction

22 1 0
                                    

Gadis itu melangkah terburu-buru, sebelah tangannya menggenggam erat sebotol kopi yang akhir-akhir ini jadi kesukaannya. Banyak yang berubah dalam hidup dia sejak sang sahabat meninggal. Dia semakin sering tidur larut, bahkan beberapa kali terbangun karena mimpi buruk.

Dia benar-benar kehilangan hidup nyaman, semakin tidak adil saat dia menderita sementara pelaku yang sudah merengut nyawa sahabatnya bisa tidur dengan tenang.

Dia tidak cukup tangguh untuk menopang tubuhnya yang hampir limbung. Matanya terpejam erat, siap dengan segala kemungkinan.

"Dua kali, dan kali ini terlalu berbahaya," ucap seseorang membuat gadis itu membuka mata. Seseorang di atas sana menahan tubuhnya dengan cara menarik jaket yang dia kenakan. Winona segera memperbaiki posisinya, berpegang pada tangga.

"Kak Dirga?"

"Heum?"

"Apa yang Kakak lakukan di studio musik?" Hanya itu pertanyaan terlintas dalam benak Winona.

"Seharusnya lo bisa menebak tanpa perlu gue jawab,"

"Benar juga, Kak Dirga pasti mau latihan untuk live music nanti,"

Winona merutuki kebodohannya. Dirga adalah salah satu alumni yang merencanakan acara tersebut. Sudah pasti pria itu butuh persiapan matang.

"Jadi, kalau boleh tau apa motivasi khusus para alumni mengadakan acara ini? Bukankah ini terlalu buang-buang waktu kalian? Ditambah lagi, ini pertama kalinya kepala sekolah memberi izin, selama sekolah di high class, belum pernah tuh ada acara seperti ini," ucap Winona mulai mewawancarai Dirga. Kesempatan tidak akan datang dua kali, mungkin? Masalahnya, ini kedua kalinya Winona berinteraksi dengan alumni mereka tersebut.

"Tidak ada alasan khusus, mungkin hanya mengharapkan sebuah terobosan baru," sahut Dirga, menyelipkan tangan ke dalam saku. Di punggung pria itu, sebuah tas gitar tersampir sempurna. Pria itu sepertinya benar-benar ingin berlatih.

Dirga yang berhenti membuat Winona ikut berhenti. 

"Apa yang akan anak high class tampilkan? Kalian harus memberi penampilan terbaik, jika tidak ingin nama kelas itu dicap buruk. Prestasi gak melulu soal akademik, tetapi non akademk juga," lontar pria itu menaikkan sebelah alisnya. Dirga seperti meragukan kemampuan anak high class yang hanya gila belajar.

"Tentu saja, kami akan jadi yang terbaik,"

"Lo begitu percaya diri,"

"Heum, mungkin sedikit percaya diri," sahut Winona. Suaranya merendah ketika mendengar keributan yang masih terjadi di dalam ruang latihan. Yang benar saja, waktu tersisa satu hari untuk latihan, dan anak-anak itu masih saja berdebat soal karakter yang Winona berikan. Gadis itu menepuk keningnya. Bagaimana caranya lagi mengatasi anak-anak yang meninggikan ego masing-masing.

"Sepertinya rasa percaya dirimu berkurang, dan tersisa 20% saja," ledek Dirga terkekeh. Baru pertama kali pria itu tertawa. Kesan pertama bertemu, Winona pikir Dirga itu jutek. Namun, sekarang pria itu malah menyebalkan, menertawakan Winona.

"Akan meningkat lagi, Kak Dirga tunggu saja,"

"Kita lihat saja besok." Dirga mendekatkan tubuhanya, lalu meraih kopi dalam genggaman Winona.

"Anggap saja sebagai ucapan terima kasih. Lo bisa terluka parah kalau jatuh di tangga," ucap Dirga saat Winona hendak protes. Dirga membuka tutup botol dan mulai menegak isinya.

"Satu lagi, jangan terlalu mencolok kalau tak ingin jadi target selanjutnya, gue pergi dulu. Bye!"

Dirga pergi dan hanya tersisa Winona yang menghentakkan kakinya kesal sendiri. Itu kopi kesukaannya. Kalau memang mau seharusnya Dirga tinggal bilang, Winona bisa pesankan lagi, tidak perlu merebut kopi kesukaannya.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang