BAB 38. The Genius?

19 2 0
                                    

Kekesalan Winona rupanya masih berlanjut, hingga dini hari. Gadis yang masih sibuk dengan kumpulan buku yang berserakan itu, masih setia mengabaikan kehadiran Arion. Sejak pulang dari sekolah, Winona sama sekali tidak membuka mulut sedikit pun. Berkali-kali, Arion mencoba menarik perhatiannya, berakhir sia-sia. Winona diam, tak mengubris sedikit pun.

"Na, yakin gak mau dibeliin kopi?" tawar Arion, berencana keluar di waktu yang sudah menunjuk dini hari. Tidak ada tanda-tanda Winona akan beristirahat. Tekad untuk menjadi pemenang rupanya belum juga surut, meski waktu yang dimiliki gadis itu sangat terbatas.

Kesempatan memang tidak datang dua kali.

Dan Winona harus mendapatkan jurnal selain milik Deya.

Dia harus tahu siapa yang paling dibenci anak-anak high class.

"Na, lo makin jelak tau kalau cuekin gue gitu," goda Arion masih belum menyerah menarik atensi gadis itu. Winona masih cuek, mengoret-oret buku asal. Sejujurnya, dia sudah mulai mengantuk beberapa jam yang lalu. Masih belum terbiasa dengan perubahan mendadak.

"Ya udah kalau gak mau, padahal kalau dini hari keluar terus hirup udara segar, bisa bikin otak fresh buat belajar lagi, tau Na," oceh cowok itu, bersiap untuk pergi.

"Ck, gue ikut tapi lo yang bayarin,"

Arion tertawa lantas segera mengangguk, tak lupa menyerahkan jaket kulit yang sudah dia persiapkan untuk Winona. Dia tahu gadis itu tidak akan bisa menolak ajakannya.

"Prepare banget," sindir Winona. Pasalnya Arion begitu penuh persiapan, terniat sekali membawanya jalan-jalan keluar dini hari. Winona hanya merapikan sedikit rambutnya yang sudah digulung sejak mulai belajar, lalu mengenakan jaket yang Arion berikan. Penampilan yang menurutnya acak-acakan tetap saja berhasil menarik perhatian cowok itu.

"Di luar dingin, lepas aja cepolannya," kilah cowok itu ketika mendapat tatapan tajam, akibat tindakannya yang menarik ikat rambut Winona. Kini, rambut yang sedikit ikal tergerai.

"Gue makin buluk, ish," decak Winona hendak menggulung rambutnya. Tangan Arion menghentikan aksi gadis itu.

"Nah, gini lebih baik," ucap cowok itu puas, melihat hasil karyanya.

Winona membeku, jantungnya mulai bertingkah lagi. Arion terlalu dekat dengannya, hingga napas serta wangi cowok itu tanpa izin menusuk penciuman Winona.

"Udah gue bilang, jangan dilihatin mulu, nanti lo naksir sama gue," celetuk cowok itu. Winona berdecak, melayangkan satu cubitan di perut Arion, hingga cowok itu meringis kesakitan.

"RASAIN!"

Arion tertawa puas mengerjai Winona. Siapa suruh gadis itu sok mendiaminya? Sekarang, giliran dia yang menjahili gadis itu.

"TUNGGUIN, NA! KATANYA MAU DITRAKTIR!"

Keduanya kini berjalan beriringan, menyusuri jalanan kompleks yang mulai sepi. Tujuan mereka adalah minimarket terdekat.

Winona merapatkan jaket yang dia pakai, menatap lampu-lampu jalanan, juga satu per satu mobil yang melintas. Dinginnya malam rupanya mampu membuat otak Winona lebih segar. Rasa panas pada otaknya, perlahan memudar.

"Kalau dipikir-pikir gue banyak berubah akhir-akhir ini,"

Arion memutar tubuh Winona, mengamati penampilan gadis itu dari atas ke bawah, membuat Winona menautkan alisnya. Gak nyambung banget tingkat cowok itu.

"Kenapa sih, Ar?"

"Lo berubah dari mananya? Gak ada ekor kok, gak ada sisik juga," oceh Arion.

"Lo pikir gue duyung, ck. Gak jelas lo," protes Winona.

High ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang